Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menerima kunjungan dari Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Jum’at (21/02/2013), di ruang delegasi gedung MK.
Dalam kesempatan tersebut Ketua Presidium PMKRI Lidya mengungkapkan sejumlah persoalan yang terjadi dalam gerakan mahasiswa. Menurut Lidya, terjadi pembatasan aktifitas organisasi mahasiswa yang dilakukan oleh pihak perguruan tinggi. Selain itu, anggota Presidium PMKRI yang hadir dalam kesempatan tersebut juga meminta penjelasan dari Hamdan mengenai polemik yang terjadi di MK akhir-akhir ini.
Terhadap pertanyaan yang diajukan aktivis organisasi mahasiwa tersebut, Hamdan menyatakan perkembangan yang terjadi. Seluruh hakim konstitusi dan pegawai MK tetap fokus bekerja seperti biasa dan MK menyadari betul pasca kasus yang terjadi pada mantan Ketua MK M. Akil Mochtar, apapun putusan MK akan selalu dikritik. Menurutnya, hal itu juga yang menjadi sikap MK dalam memutus pengujian Undang-Undang (UU) akhir-akhir ini diperdebatkan.
Dikatakan Hamdan, tidak ada satupun Mahkamah Agung (MA) dan MK di dunia yang diawasi. Karena apabila lembaga pelaku kekuasaan kehakiman diawasi, hancurlah prinsip negara hukum. Hamdan mengatakan, andai ada hakim yang melakukan tindak pidana maka hakim tersebut dapat langsung ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurutnya, jika MK hanya mengikuti kepentingan sesaat maka putusan MK hanya mengikuti opini publik dan tekanan politik. Oleh karena itu dirinya mengakui tidak mau lagi banyak bicara di media. Baginya, seorang hakim harus mempelajari kasusnya dengan kerangka berpikir yang benar dan ilmu yang ia miliki.
Lebih lanjut Hamdan mengatakan, dengan putusan MK dalam hal pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UU, maka Dewan Etik yang telah di bentuk MK akan segera aktif bekerja minggu depan.
Sementara terhadap pertanyaan soal putusan MK mengenai pemilihan umum serentak yang baru akan dilaksanakan pada 2019, Hamdan menjelaskan putusan itu diambil dengan pertimbangan yang masak. Menurutnya putusan itu dibuat tidak hanya berdasar hukum semata melainkan juga mempertimbangkan keselamatan bangsa. Hamdan menjelaskan, Undang-Undang Dasar (UUD) tidak memberikan jalan keluar andai hingga masa jabatan presiden berakhir belum ada presiden yang terpilih.
Oleh sebab itu, dikatakan oleh Hamdan, MK memutus pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2019. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada Majelis Persmusyawaratan Rakyat (MPR) memikirkan dan mengantisipasi jika terjadi kekosongan kekuasaan. Dijelaskan Hamdan, UUD selama ini hanya mengatur mekanisme triumvirat, yaitu pemerintahan oleh Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan, jika presiden dan wakil presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan. (Ilham/mh)