Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan permohonan Sanusi Wiradinata UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) - Perkara No. Nomor 102/PUU-XI/2013 - tidak dapat diterima. Demikian putusan MK pada Kamis (20/2) siang.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Menurut Pemohon, Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memberikan hak kepada Pemohon selaku terlapor dalam perkara pidana untuk melakukan gugatan Praperadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang a quo tentang sah atau tidaknya penetapan Pemohon sebagai tersangka.
Terkait laporan polisi dari pelapor Safersa Yusana Sertana yang dibuat pada 3 Mei 2012 dengan tuduhan Pemohon diduga melakukan tindak pidana perbuatan cabul (Pasal 289 KUHP), percobaan pemerkosaan (Pasal 285 juncto Pasal 53 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan Perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), tuduhan tersebut menurut Pemohon sebagai penuh rekayasa, sangat mengagetkan dan janggal.
Menurut Mahkamah, posita Pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945, serta tidak menunjukkan argumentasi soal pertentangan antara pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.
Selain itu, dasar pengujian konstitusionalitas pasal-pasal sebagaimana diuraikan tersebut di atas, tidak ada hubungannya sama sekali dengan alasan yang dikemukakan oleh Pemohon, atau setidaknya hubungan antara posita dan petitum permohonan menjadi tidak jelas. Pemohon juga tidak menguraikan tentang konstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menghubungkannya dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon.
Demikian juga dalam petitum permohonannya, tidak jelas apa yang dimohonkan untuk diputus oleh Mahkamah. Walaupun Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada Kamis 12 Desember 2013 telah memberikan nasihat sesuai dengan UU MK untuk memperbaiki permohonannya, tetapi permohonan Pemohon tetap sebagaimana diuraikan di atas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon a quo kabur, sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan Pemohon. (Nano Tresna Arfana/mh)