Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiarti mendapat kehormatan untuk menutup acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Legislatif 2014 bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi. Acara tersebut sebelumnya dibuka oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva pada 18 Februari 2014 dan ditutup pada 21 Februari 2014.
Dalam sambutannya, Ida memastikan komisioner KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota akan menghadiri sidang PHPU apabila pihaknya menjadi termohon. Hal tersebut, untuk memberikan informasi kepada hakim konstitusi terkait situasi yang terjadi di lapangan sehingga memudahkan MK untuk menganalisis perkara yang dimohonkan.
Lebih lanjut, mencermati legal policy yang mengatur apa dan bagaimana pemilu 2014, menurut Ida, harapan dan spirit pembentuk undang-undang adalah pemilu yang tak sekadar taat prosedur. Ekspektasinya, pemilu juga mampu memberikan proses dan hasil yang berintegritas.
Untuk menghasilkan proses dan hasil pemilu yang berintegritas, ada beberapa hal yang harus dilaksanakan, diantaranya penyelenggaranya harus independen dan terjadi adanya kepastian hukum dan penegakan hukum pemilu. Dalam hal ini, menurut Ida, MK memiliki kontribusi yang luar biasa, tidak hanya sekadar melahirkan kepastian hukum tapi juga melahirkan keadilan subtantif yang menjadi role model yang diadaptasi ketika menjalankan otoritas dari lembaga peradilan.
Sementara, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitus Janedjri M. Gaffar menyampaikan harapan agar ilmu, pengetahuan, serta pengalaman yang telah disampaikan oleh narasumber selama diklat hendaknya juga disampaikan pada kolega anggota KPU baik provinsi maupun kabupaten/kota yang belum mendapat kesempatan untuk menghadiri diklat.
“Dengan ilmu yang disampaikan selama diklat, harapannya kita bersama-sama dapat mewujudkan pemilu yang langsung umum bebas rahasia dan jujur serta adil (luber dan jurdil) sehingga MK tidak disibukan dengan banyaknya perkara PHPU yang masuk. Oleh karena itu kita berharap semua bisa selesai oleh bapak dan ibu komisioner,” ujar Janedjri.
Ia pun menjelaskan, sebagaimana dipahami bersama, pemilu sebagai instrumen utama dari demokrasi harus dilaksanakan secara demokratis. Agar bisa dilaksanakan secara demokratis, ada instrumen lain yang dibutuhkan, yakni pengadilan pemilu. MK dihadirkan ke dalam sistem ketatanegaraan kita, menurut Janedjri memang dimaksudkan untuk memutus PHPU karena demokrasi tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Dengan kata lain, demokrasi harus diimbangi.
Mempelajari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dijelaskan bahwa rakyat yang berdaulat di Indonesia. Dari kedaulatan rakyat itulah, kemudian lahir paham demokrasi. Namun, demokrasi bukan sistem yang sempurna, ia memiliki kelemahan.
Salah satu kelemahan demokrasi adalah, suara yang paling banyak itu yang dianggp paling benar. Padahal, menurut Janedjri, kadang keadilan dan kebenaran terdapat pada segelintir orang. “Sehingga, kehadiran MK dimaksudkan untuk mengimbangi demokrasi. Adanya kedaulatan rakyat menghadirkan sistem demokrasi, adanya hukum menghasilkan sistem monokrasi. Gabungan demokrasi dan monokrasi saling menyeimbangkan dan menghasilkan negara demokrasi berdasarkan hukum dan negara hukum yang demokratis,” jelasnya.
Pemilu yang paling demokratis pun, diakui Janedjri memiliki kekurangan. Sehingga, ia berharap materi yang telah disampaikan di diklat dapat dijadikan acuan. Terlebih mengenai perkembangan hukum pemilu dalam yurisprudensi MK. “Banyak prinsip hukum baru yang dihasilkan dari putusan-putusan MK dan itu belum diketahui oleh khalayak. Saya menyarankan bapak/ibu komisioner memperdalam yurisprudensi lagi, sebagai bekal ketika beracara di MK,” ujar Janedjri. (Lulu Hanifah/mh)