Banyak undangan dari media massa, tapi tidak dilayani dan didatangi oleh hakim Mahkamah Konstitusi jika tujuannya untuk diadu dengan pakar hukum maupun pengamat lain. Hakim MK bekerja dengan keputusannya. Hakim MK mau datang kalau diminta untuk menjelaskan secara monolog.
Itulah penjelasan Wakil Ketua MK Arief Hidayat saat menghadiri undangan diskusi di Kantor Redaksi ANTV, Kamis (20/2/2014). “Saya mau datang ke ANTV karena ini bersifat tertutup. Kesanggupan saya untuk hadir di sini untuk alasan menjelaskan polemik yang selama ini bergulir secara salah kaprah di publik pasca Putusan MK,” tutur Arief.
Polemik pertama soal putusan membatalkan keseluruhan isi Perpu MK yang sebelumnya telah disahkan menjadi UU 4/2014. Arief mengatakan ada tiga pelanggaran konstitusional utama dalam UU tersebut yang perlu digarisbawahi. Pertama, soal Panel Ahli dibentuk oleh Komisi Yudisial. Menurut Arief, pembentukan Panel Ahli untuk rekrutmen hakim konstitusi oleh KY melanggar kewenangan atributif dipilihnya hakim konstitusi oleh tiga lembaga, yakni Presiden, DPR, dan MA.
“Tujuan sembilan hakim dipilih oleh tiga lembaga yang berbeda agar komposisi hakim cukup heterogen. Jika dipilih KY, maka selain melangkahi kewenangan tiga lembaga pengusulnya, nantinya hanya akan menghasilkan hakim yang homogen. Itu berbahaya, padahal yang didalami MK mencakup beragam aspek yang membutuhkan aneka sudut pandang dan perspektif,” katanya.
Kedua, soal syarat apolitis selama 7 tahun dari parpol. Yakni, calon hakim harus minimal telah 7 tahun tidak lagi terlibat di parpol. Bagi Arief, hal itupun tidak cukup menjamin seseorang menjadi nonpartisan. “Negarawan tidaklah dapat dibatasi hanya dari komponen kelompok/masyarakat tertentu. Akademisi pun juga bisa partisan. Yang perlu ditata adalah proses rekrutmen yang baik. Aturan 7 tahun tersebut menutup peluang SDM dari partisan,” katanya. Ia menambahkan bahwa aturan stigmatisasi lepas dari politik itu inkonstitusional.
Pelanggaran konstitusional ketiga, KY membentuk Majelis Kehormatan Hakim. Menurut Arief, hubungan KY hanyalah dengan MA, bukan dengan MK. Ini sebagaimana original intent Pasal 24 UUD 1945. “Tugas KY menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim MA. Istilah “mengawasi” oleh KY salah kaprah. Dalam hukum, nomenklatur mempunyai konsekuensi yuridis.
Disinggung mengenai kasus Akil Mochtar, Arief mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, mulai Presiden, DPR, hingga para pengamat dan pemerhati MK yang telah ikut berkontribusi mengembalikan marwah MK. “Tapi saya minta hormati juga Konstitusi dan putusan-putusan MK. Jangan kemudian memberi komentar yang melanggar Konstitusi,” pintanya.
Dalam pandangan guru besar kelahiran Semarang ini, agar kasus Akil tidak terulang, perbaikan manajemen perkara adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Perkara yang masuk, hakim panelnya dibagi secara berimbang. “Bahkan jika ada hakim yang kenal dengan Pemohon, biasanya hakim itu tidak mau ikut menangani perkara bersangkutan. Itu menunjukkan sikap kenegarawanan para hakim konstitusi,” katanya. (Yazid/mh)