Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) justru memungkinkan adanya kelangsungan usaha debitur. Hal ini diungkapkan oleh Mualimin Abdi selaku wakil pemerintah dalam sidang pengujian UU PKPU terhadap UUD 1945 pada Rabu (20/2) di Ruang Sidang MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh legal manager PT Daya Radar Utama, Muhammad Idris.
“Keberlangsungan usaha tersebut, memberikan waktu yang cukup bagi debitur untuk melunasi utang-piutangnya kepada kreditor secara keseluruhan berdasarkan rencana perdamaian yang disepakati dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dan hal ini menurut Pemerintah, telah memenuhi nilai keadilan bagi para pihak dan telah memenuhi nilai-nilai kepastian hukum yang dimiliki oleh para debitur maupun kreditor,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Menurut Mualimin, penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan sarana penting dalam menyelesaikan utang-piutang oleh debitur dan tidak hanya melalui kepailitan. Di dalam PKPU ini, lanjutnya, ada satu jangka waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga. Jangka waktu tersebut kepada kreditor dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan menawarkan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut.
“Pengajuan PKPU juga tidak mengurangi kewajiban debitur untuk membayar utangnya. Karena dengan pengajuan PKPU, debitur mencari jalan untuk bisa membayar utangnya, tanpa menghentikan jalannya perusahaan debitur. Oleh karena itu, menurut pemerintah, dalil Pemohon yang menganggap atau yang menyatakan bahwa pasal yang dimohonkan untuk diuji tidak memiliki kepastian hukum,” ujarnya.
Sementara, DPR yang diwakili oleh Ruhut Sitompul menjelaskan aturan mengenai pembayaran utang justru memberikan keringanan kepada debitur terutama mengenai waktu yang relatif tidak lama akan memperoleh penghasilan yang akan cukup melunasi semua utang-utangnya. “Terlebih PKPU diberikan hanya pada saat-saat debitur benar-benar sudah tidak mampu yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan,” tuturnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan karena dianggap melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai perwakilan badan hukum privat. Pasal 242 (2) UU 37/2004 menyatakan “Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan berdasarkan permintaan pengurus, semua sita yang telah diletakkan gugur dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan segerap setelah diucapkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta debitor”.
Pemohon mendalilkan Pasal 242 ayat (2) UU Kepailitan tidak mencerminkan asas kepastian hukum karena menggugurkan sita yang telah dilaksanakan terlebih dahulu kurang lebih 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan perusahaan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). (Lulu Anjarsari)