Salah satu contoh dari tindak pelanggaran pemilihan umum adalah money politic atau politik uang. Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Aswanto, money politik tidak bisa dipidana.
Aswanto menjelaskan, inti dari Pasal 89 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD menyatakan dilarang memberikan uang/barang/jasa supaya seseorang memilih atau tidak memilih orang lain. Sementara dalam hukum pidana, untuk membuktikan terjadinya money politic di pengadilan adalah dengan membuka kertas suara orang yang diberikan uang/barang/jasa.
“Pembuktiannya di pengadilan adalah dengan membuka kertas suara, apakah si A memilih calon yang memberikan uang? Kan tidak bisa dibuka kertas suara begitu saja. Di mana asas rahasia kalau kertas suara dibuka?” katanya saat menjadi narasumber dalam acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 untuk Komisi Pemilihan Umum di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Rabu (19/2/2014).
Pasal money politic, menurutnya, justru digunakan untuk saling serang oleh pasangan calon yang menjadi lawan. Dalam kasus perselisihan hasil Pemilukada di MK, misalnya, ada saksi yang mengaku mendapatkan uang dan memilih calon yang memberikannya uang. Namun, menurut Aswanto, di pengadilan, pengakuan tidak memiliki kekuatan hukum yang sempurna.
“Walaupun dia (saksi) mengaku, bukti tetap harus diperlihatkan, tapi kan tidak mungkin kertas suara yang dia pilih dibuka. Oleh karena itu, kasus money politic dalam sengketa Pemilukada hampir tidak ada yang terbukti,” ungkapnya.
Sehingga, agar tidak menimbulkan celah untuk menyerang lawan, Aswanto berharap ke depan, Rancangan UU Pemilu jangan diserahkan ke anggota dewan di Senayan karena mereka berkepentingan dalam penyusunan UU tersebut sebagai peserta Pemilu. “Saya sudah meminta ke Komisi III DPR agar menyerahkan saja RUU Pemilu pada ahli-ahli hukum yang tidak punya kepentingan kecuali kebenaran,” tegasnya.
Dalam paparannya, Aswanto juga menyatakan saat ini petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak bisa main-main dengan suara karena ada saksi dan ada mitra pengawas. Bahkan, partai politik peserta Pemilu dan calegnya memiliki konsultan hukum masing-masing untuk berjaga-jaga adanya pelanggaran. Pelanggaran yang kerap terjadi saat proses penyelenggaraan Pemilu adalah pelanggaran kode etik peyelenggara Pemilu, pelanggaran tindak pidana Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.
Terkait pelanggaran kode etik, dalam waktu dekat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan ikut terjun langsung untuk memeriksa di semua provinsi. Anggotanya terdiri atas satu anggota KPU, satu anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), satu orang akademisi, satu orang tokoh masyarakat, dan satu orang anggota DKPP. Ia pun sempat menyinggung wewenang DKPP yang dinilai kebablasan.
“Saat ini, DKPP seolah-olah dapat memecat penyelenggara Pemilu yang melanggar kode etik. Padahal, yang berhak memecat adalah yang mengangkat orang tersebut. DKPP sejatinya adalah penjaga etik, tetapi sekarang malah terkesan menjadi ancaman,” pungkas Aswanto. (Lulu Hanifah/mh)