Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lukman Hakim Saefuddin menyatakan telah terjadi perubahan yang cukup revolusioner untuk Konstitusi Indonesia pada 2003, yaitu saat berdirinya Mahkamah Konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Lukman saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Komisi Pemilihan Umum di Cisarua, Bogor, Selasa (18/02/2014). “Sesungguhnya yang menjadi jiwa dari perubahan konstitusi bermula dari perubahan paradigmatik dari sebagian besar masyarakat kita terkait dengan bagaimana seharusnya negara ini dikelola,” ujarnya.
Menurut Lukman, para pendahulu memiliki cara pandang bahwa baik buruknya negara bangsa sangat tergantung pada figur atau sosok seseorang. Melihat konstruksi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, akan terlihat kekuasaan harus terpusat pada seorang yang dianggap sebagai pemimpin. Itulah alasan kedaulatan rakyat diterjemahkan ke institusi yang bernama MPR. Dengan kata lain, MPR menjadi penjelmaan dari kedaulatan rakyat dan menjadi lembaga tertinggi negara.
Menapaki sejarah perjalan bangsa dan negara, Indonesia bertemu momentum reformasi, dari situ terjadi perubahan cara pandang. Generasi reformasi punya cara pandang kekuasaan sekecil apapun potensial untuk disalahgunakan. Sehingga tidak boleh ada lembaga yang pada dirinya terpusat hampir seluruh kekuasaan agar ada mekanisme check and balances. “Inilah awal mula perubahan UUD 1945 sekaligus menjadi jiwa perubahan konstitusi. Tidak boleh ada lagi lembaga tertinggi, kekuasaan harus dipisahkan,” sambung Lukman.
Perubahan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) merupakan supremasi konstitusi. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sebelum amademen berbunyi:“Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Setelah amandemen, Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi:“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang–Undang Dasar”.
Dengan kata lain, paham konstitusionalisme yang kemudian menjadi acuan bersama. Dengan amandemen tersebut, teori kedaulatan praktiknya mengalami perubahan yang cukup signifikan. Bukan lagi rakyat bertugas melayani dan mengabdi pada negara, tapi negara yang harus melayani rakyat untuk mencapai kesejahteraan.
Kewenangan dan Kewajiban MK
Mendalami kewenangan MK, ada empat kewenangan dan satu kewajiban menurut konstitusi. Pertama, MK berwenang untuk menguji UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. “Dulu, apabila DPR dan presiden berkolaborasi untuk membuat UU demi kepentingannya saja, tidak ada satupun diantara kita yang bisa mengontrol. Sekarang tidak bisa lagi, MK punya kewenangan menguji bahkan membatalkan UU tersebut apabila bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Lukman.
Kedua, sengketa hasil pemilu dan pembubaran parpol yang dahulu diselesaikan oleh pemerintah dengan presiden yang memutuskan tanpa ada landasan hukum apapun. Begitu pula dengan sengketa antar lembaga negara. Sebelum ada MK, MPR yang menyelesaikan, padahal MPR merupakan lembaga politik.
Selain itu, MK memiliki satu kewajiban, yaitu memutus pendapat DPR yang mengatakan presiden/wakil presiden telah melanggar hukum. Sebelum ada MK, kebijakan seorang presiden bisa menjadi pintu masuk untuk pemakzulan dengan cara yang sangat politis.
Terkait dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final and binding), Lukman berpendapat putusan peradilan apapun ada batas akhir tidak bisa diuji lagi. “Apabila putusan MK bisa diuji, siapa yang menguji? Apa harus membuat institusi baru yang berada di atas MK? Sampai kapan bisa diuji? Akhirnya kita akan menemukan titik akhir juga,” tandasnya. (Lulu Hanifah/mh)