Aturan mengenai penyelenggara pendidikan profesi khusus advokat seperti yang tercantum Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) memiliki pengaburan makna. Hal ini disampaikan Dosen Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Pancasila M. Rullyandi ketika menjadi ahli pemohon dalam perkara No. 103/PUU-XII/2013 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon adalah para advokat dan konsultan hukum dari Kantor Hukum “O.C. Kaligis & Associates”.
“Frasa kata dilaksanakan, memberi tafsir mengandung rumusan yang tidak sejalan dengan perintah konstitusi, dengan mengesampingkan hak konstitusional Pemohon, yaitu hak untuk menyelenggarakan pendidikan, maka terdapat pengkaburan makna seolah-olah negara memberikan kewenangan penuh (bevoegdheid) kepada organisasi advokat dalam hal ini yang diakui adalah PERADI untuk memegang kekuasaan sepenuhnya (absolutely power) dalam rangka menyelenggarakan pendidikan profesi advokat,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva tersebut.
Rullyandi menjelaskan seharusnya penyelenggara pendidikan profesi advokat dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga secara tafsir norma tersebut. Akan tetapi, lanjut Rullyandi, karena tidak ada kepastian rumusan norma tersebut. “Dengan kata lain organisasi advokat yang demikian dapat melakukan kesewenang-wenangan dan menimbulkan arogansi subjektif yang bahkan berujung diskriminatif dalam lingkup pelaksanaannya,” ujarnya.
Selain itu, Rullyandi menjelaskan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU tersebut juga terdapat pertentangan terhadap asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 5 huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu asas kejelasan rumusan dan Pasal 6 huruf g dan i UU tersebut yakni peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan dan kepastian hukum.
Dalam persidangan tersebut, hadir Ahmad Yani yang mewakili DPR. Dalam keterangannya, ia menjelaskan undang-undang ini masih dalam aplikasi dan pelaksanaannya belum juga seutuhnya menggambarkan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Kemudian, ia mengungkapkan bahwa undang-undang ini juga dalam pelaksanaannya memang ada menimbulkan berbagai macam persoalan-persoalan berdasarkan fakta-fakta, realitas, baik aspek sosiologis yang kami temukan dalam pelaksanaan undang-undang ini. “Berdasarkan berangkat hal-hal yang seperti itu, Yang Mulia yang kami hormati adalah saat ini Dewan Perwakilan Rakyat sedang menggunakan hak konstitusionalnya, yaitu melakukan legislative review terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 ini,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang menyebutkan, “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan organisasi advokat”. Organisasi advokat yang dimaksud Pemohon, dalam hal ini adalah Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Namun dalam praktiknya, Peradi justru merugikan Para Pemohon dengan menghentikan penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) tanpa alasan yang jelas dan sewenang-wenang, meskipun dalam menyelenggarakan PKPA Pemohon bermitra dengan Peradi. Selain itu, pasal tersebut memberikan kewenangan mutlak bagi Peradi sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan pendidikan advokat. Hal ini pula yang menyebabkan Pemohon tidak dapat menyelenggarakan pendidikan advokat tanpa seijin Peradi. Berikutnya, tanpa alasan jelas Peradi tidak melantik calon advokat yang telah memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai advokat. (Lulu Anjarsari/mh)