Polemik yang timbul akibat dikabulkannya seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU oleh MK masih bergulir. Beberapa pihak menilai tidak etis MK mengadili dirinya sendiri, beberapa yang lain menilai pengabulan permohonan tersebut menjadi bukti bahwa MK enggan diawasi.
Menjawab berbagai pandangan tersebut, Ketua MK Hamdan Zoelva memaparkan alasan-alasan mengapa MK menjadi harus mengadili dirinya sendiri dan menyatakan seluruh UU No.4 Tahun 2014 inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menurut Hamdan, ada tiga isu yang masing-masing memiliki landasan konstitusional berbeda. Ketiga isu tersebut yakni rekrutmen hakim, pengawasan MK melalui Majelis Kehormatan, dan syarat menjadi hakim konstitusi. Mengenai rekrutmen hakim konstitusi yang harus melalui panel ahli bentukan Komisi Yudisial, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan kewenangan atributif atau kewenangan mutlak kepada tiga lembaga negara yakni presiden, Mahkamah Agung, dan DPR untuk melakukan rekrutmen hakim konstitusi.
“Artinya dari kewenangan atributif itu, dari Presiden, MA, atau DPR mau membentuk panitia seleksi yang dibentuk secara internal oleh mereka itu tidak jadi soal, tapi ini dibentuk oleh lembaga lain (KY). Hal itu yang mereduksi kewenangan masing-masing lembaga negara,” jelas Hamdan.
UU tentang Penetapan Perpu MK mengatur rekrutmen hakim konstitusi melalui panel ahli setelah dipilih oleh Presiden, DPR, maupun MA. Panel ahli dibentuk oleh KY yang terdiri atas satu orang dari tiga lembaga negara yang berwenang memilih hakim konstitusi dan empat orang dari KY.
Tidak Ada Peradilan yang Diawasi
Mengenai pengawasan, Hamdan menegaskan hakim konstitusi bukan enggan diawasi. Pihaknya mengakui butuh penjaga martabat dan perilaku hakim. Namun, istilah pengawasan terhadap MK adalah istilah yang salah. Terhadap lembaga peradilan, seharusnya tidak ada pengawasan dari lembaga negara yang lain.
Di lembaga peradilan di seluruh dunia, kata Hamdan, tidak ada lembaga peradilan yang diawasi. Pengawasan akan mengganggu independensi lembaga peradilan. “UUD 1945 tidak mempergunakan terminologi pengawas tapi menjaga kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Konstitusi tidak mempergunakan terminologi pengawasan, itu salah dan harus dihindari. Itu merusak prinsip independensi,” imbuh Hamdan.
Terkait kewenangan KY, Hamdan yang ikut merumuskan amandemen UUD 1945 menjelaskan kewenangan Mahkamah Agung berada dalam Pasal 24A, kewenang KY pada Pasal 24B dan kewenangan MK berada pada Pasal 24C. Kewenangan KY tidak ditempatkan di Pasal 24C karena kewenangannya hanya mencakup MA dan hakim di bawahnya, tidak termasuk MK.
Sementara untuk menjaga keluhuran dan perilaku hakim konstitusi, UUD 1945 telah mengatur mekanismenya. Pasal 27A menegaskan bahwa dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi dibentuk majelis kehormatan. Majelis kehormatan terdiri atas 5 orang, yakni masing-masing seorang hakim konstitusi, mantan hakim konstitusi, anggota KY, akademisi, dan tokoh masyarakat.
“Pasal ini masih tetap berlaku dan inilah yang selalu menjaga kehormatan hakim. Untuk merespon perkembangan dan kebutuhan yang ada, untuk day to day menjaga perilaku hakim, MK membentuk Dewan Etik yang bersifat permanen, seluruh anggotanya dari luar hakim konstitusi. Mereka independen tanpa sedikitpun diganggu MK,” tegasnya.
Terakhir, terkait syarat calon hakim konstitusi yang minimal 7 tahun tidak aktif dari partai politik. Syarat tersebut bertentangan dengan prinsip paling pokok UUD 1945, yakni prinsip dalam hukum dan pemerintah. Prinsip tersebut merupakan stigma terhadap orang parpol. Padahal, imbuh Hamdan pada kenyataannya siapapun bisa tersangkut kasus korupsi. Itu kasus yg murni individual. Sehingga UU tersebut membuat stigma yang salah dan bertentangan dengan konstitusi.
Mengadili Diri Sendiri
Menanggapi pertanyaan mengapa MK memutus perkara yang berkaitan dengannya, Hamdan menjawab kalau tidak MK lalu siapa?
“Tidak boleh pengadilan menolak perkara, tidak ada lembaga peradilan lain yang bisa menguji pertentangan UU dan UUD 1945. DPR bisa mengubah UU tapi tidak bisa membatalkan UU karena bertentangan dengan konstitusi. Kalau tidak MK lalu siapa?” ujarnya.
Hamdan pun menjelaskan UU tentang Penetapan Perpu MK merupakan kali keempat pengujian UU terkait dengan MK. Namun, MK memutus perkara dengan nomor 1/PUU-XII/2014 dan 2/PUU-XII/2014 tersebut semata-mata untuk kepentingan konstitusi dan sama sekali tidak ada hubungan dengan MK yang enggan diawasi. “Apabila ada hakim MK yang melakukan tindak pidana, silakan ditindak. Kami tidak kebal hukum,” kata Hamdan.
Masalah Teknis
Selain bertentangan dengan kewenangan atributif yang langsung diatur dalam UUD 1945 yang bersifat mutlak, Hamdan menjelaskan teknis pengeluaran Perpu dan penyusunan Perpu tidak genting dan memaksa. Selain itu, norma-norma dalam Perpu telah menimbulkan ketidakpastian hukum. (Lulu Hanifah)