Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan Perkara Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK Menjadi UU, Kamis (13/2). Seluruh UU No.4 Tahun 2014 oleh MK dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua perkara tersebut dimohonkan oleh sejumlah pengacara yang sering berperkara di MK, seperti Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, serta Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember.
Sebelum amar putusan Mahkamah diucapkan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati terlebih dulu menegaskan bahwa putusan Mahkamah ini hanya berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim. Oleh karena itu, adanya tekanan opini publik dalam mengambil putusan dihindari oleh hakim, termasuk terhadap hakim konstitusi. Betapapun kuatnya tekanan tersebut baik yang berasal dari anggota masyarakat, pejabat eksekutif, maupun anggota badan perwakilan, seorang hakim harus tetap independen agar kekuasaan kehakiman yang idependen dan hakim tidak tunduk pada kekuasaan.
“Oleh karena itu, hakim berkewajiban untuk menegakkan independensi pada dirinya, sebaliknya masyarakat maupun kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman juga wajib untuk menegakkan independensi tersebut dengan tidak mencampuri proses peradilan termasuk di dalamnya pengambilan putusan. Apabila ada pihak yang melakukan tekanan kepada Mahkamah dengan membentuk opini-opini publik, apalagi pihak tersebut merepresentasikan cabang kekuasaan yang lain, hal demikian telah melanggar prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman yang secara universal dapat dikategorikan telah melakukan tindakan contempt of court,” tegas Maria mengawali pembacaan pendapat Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat UU MK Tahun 2014 yang salah satu isinya mengatur pengajuan calon hakim konstitusi melalui mekanisme seleksi Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial (KY) terlebih dulu telah mereduksi kewenangan konstitusional MA, DPR, dan Presiden. Ketiga lembaga tersebut memang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk mengajukan calon hakim konstitusi dan tiga dari tujuh orang anggota Panel Hakim memang masing-masing ditunjuk oleh MA, DPR, dan Presiden. Mahkamah berpendapat, kewenangan MA, DPR, dan Presiden tidak dikurangi oleh Panel Ahli bila ketiga lembaga negara pengusung calon hakim konstitusi tersebut membentuk panitia seleksi sendiri yang akan menyeleksi secara intern. “Hal demikian (membentuk tim seleksi internal, red) tidaklah bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi,” ujar Maria lagi.
Selain itu, MK juga mempertimbangkan mengenai pengawasan hakim konstitusi dengan merujuk kepada putusan MK pada 2006. Dalam putusan tersebut berdasarkan maksud pembentuk konstitusi (original intent) dan alasan substansial, pengawasan hakim konstitusi tidak dilakukan KY, sementara UU No. 4 Tahun 2014 mengatur keterlibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Stigma Anggota Parpol
Sementara itu terkait isi UU No. 4 Tahun 2014 yang mengubah ketentuan tentang syarat hakim konstitusi harus sudah tidak menjadi anggota partai politik minimal selama tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi, Mahkamah menyatakan ketentuan tersebut juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah menyatakan demikian karena melihat ketentuan tersebut dicantumkan setelah kejadian tertangkap tangannya M. Akil Mochtar selaku ketua MK kala itu. Adanya latarbelakang pencantuman ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i tersebut menurut Mahkamah erat kaitannya dengan fakta Akil Mochtar yang berasal dari politisi/anggota DPR sebelum menjadi hakim konstitusi. Dengan kata lain, Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No. 4 Tahun 2014 dicantumkan berdasarkan stigma yang timbul dalam masyarakat.
Menyikapi hal tersebut, Mahkamah berpendapat stigmatisasi semacam itu telah menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, termasuk hak untuk menjadi hakim konstitusi. Seharusnya, masih dalam pendapat hukum Mahkamah, pembatasan hak konstitusional seseorang harus memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid.
Meski benar sekali bahwa korupsi adalah perbuatan sangat tercela dan merugikan sehingga harus diberantas, tetapi memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor yang dipastikan memiliki kepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil adalah penalaran yang sama sekali tidak benar. “Perilaku tercela dan tidak adil merupakan tabiat individual yang harus dilihat secara individual juga. Di samping melanggar UUD 1945, persyaratan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No. 4 Tahun 2014 tersebut sangatlah rentan untuk diselundupi, “ ucap Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang juga membacakan pendapat hukum Mahkamah.
Bukan Kegentingan Memaksa
Masih dibacakan oleh Ahmad Fadlil, Mahkamah lewat Putusan No. 1/PUU-XII/2014 dan 2/PUU-XII/2014 ini menyatakan Perpu MK yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 2014 tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa. Presiden memang berwenang untuk mengeluarkan Perpu namun hal itu hanya bisa dilakukan dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Syarat mengenai sifat kegentingan memaksa tersebut pun dinyatakan dalam Konstitusi sehingga syarat tersebut mutlak mengikat kepada presiden.
Syarat kegentingan memaksa tersebut yakni harus adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Mahkamah pun menegaskan, pembentukan Perpu harus mempunya akibat prompt immediately atau sontak segera. Maksudnya, Perpu tersebut harus langsung dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan hukum. “Menurut Mahkamah, Perpu No. 1 Tahun 2013 tidak ada akibat hukum yang ‘sontak segera’. Hal tersebut terbukti bahwa meskipun Perpu telah menjadi undang-undang, Perpu tersebut belum pernah menghasilkan produk hukum apapun. Konsiderans (menimbang) Perpu tidak mencerminkan adanya kesegeraan tersebut, yaitu apa yang hanya dapat diatasi secara segera. Panel Ahli sampai sekarang belum kunjung terbentuk, perekrutan Hakim Konstitusi untuk menggantikan M. Akil Mochtar (juga) belum dapat dilakukan, justru semakin tertunda karena adanya ketentuan yang terdapat dalam Perpu. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum terbentuk dan kalaupun terbentuk pun tidak ada masalah mendesak yang harus diselesaikan,” tandas Fadlil mengenai tidak terpenuhinya syarat kegentingan memaksa dalam pembentukan Perpu No. 1 Tahun 2013. (Yusti Nurul Agustin/mh)
*Putusan selengkapnya dapat diunduh melalui www.mahkamahkonstitusi.go.id