Konstitusi mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial pun seharusnya ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Pasalnya, status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Itulah alasan yang mendasari pengujian UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Uji materi tersebut dimohonkan oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas, yang diwakili sejumlah kuasa hukum.
Dalam sidang perdana perkara nomor 8/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Kamis, (13/2/2014) tersebut, Pemohon menguji dua pasal dalam UU tersebut, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Kedua putusan tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Norma yang menjadi dasar argumentasi konstitusional Pemohon adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 12, Pasal 18 ayat 5, dan Pasal 28D ayat 1. Lebih dalam, Pemohon menganggap bahwa Pasal yang diujikan bertentangan dengan konstitusi khususnya pada Pasal 12 UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 5, yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 18 ayat 5
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Mengutip dari pendapat para ahli, Pemohon menilai konflik sosial termasuk dalam keadaan darurat bahaya. Sehingga, status keadaan konflik, termasuk skala kabupaten/kota seharusnya ditetapkan oleh presiden, bukan bupati/wali kota seperti aturan UU tersebut. “Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial kebablasan dalam pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945,” kata salah satu kuasa hukum Pemohon, Wahyudi Djafar.
Lebih lanjut, Pasal 16 dan Pasal 26 UU tersebut telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum dalam pengaturan mengenai penetapan status keadaan darurat di Indonesia sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasalnya, pada waktu yang bersamaan juga berlaku UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya yang memiliki unsur-unsur, syarat-syarat, dan elemen-elemen yang sama dengan ketentuan dalam UU tersebut.
“Dengan adanya dua pengaturan mengenai kewenangan menetapkan status keadaan darurat/bahaya sebagaimana diatur dalam UU a quo dan UU 23/PRP/1959, dalam waktu yang bersamaan dapat muncul dua penetapan status darurat sekaligus, yakni oleh Presiden dan bupati/walikota,” jelas Wahyudi.
Oleh karena itu, Pemohon memohon untuk menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi permohonan Pemohon, majelis hakim panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Harjono meminta Pemohon menguatkan legal standing-nya dengan menegaskan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Soal keberadaan pasal a quo, coba kaitkan keberadaan UU ini dengan fakta-fakta yang terjadi,” ujar Anwar. (Lulu Hanifah/mh)