Dalam keseharian, kita sering bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai lembaga peradilan. Walau tidak ikut berperkara secara langsung, bagi orang awam maupun terpelajar yang tidak bergerak di bidang hukum, sangat cenderung untuk menghindari berurusan dengan peradilan.
“Kalau berurusan dengan peradilan berarti sedang memiliki masalah hukum, baik perdata maupun pidana,” kata Ali Syafaat yang bertindak sebagai narasumber dalam Diklat PHPU 2014 untuk PKPI di Bogor dengan materi Independensi dan Imparsialitas Lembaga Peradilan.
Lembaga peradilan adalah salah satu institusi kehidupan bernegara yang sejak awal didesain terpisah dengan kekuasaan yang lain (trias politica). Yang memunculkan ada di Inggris, yaitu John Locke dan Montesquieu. Ada eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mengapa harus ada pemisahan kekuasaan?
Bisa saja tidak hanya tiga lembaga kekuasaan tadi, tapi bisa jadi muncul yang lain. UUD 1945 secara tegas mengatakan (meskipun tidak dijumpai kata-kata pemisahan) Indonesia menganut sistem pemisahan kekuasaan. Disebutkan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Disebutkan lagi, Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Terakhir disebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Ada berbagai macam perkara. Ada yang sifatnya adversarial (permohonan satu pihak), misalnya pengujian undang-undang, mengajukan hak kewarganegaraan, dll. Ada lagi yang bersifat contentious (dua pihak atau lebih), misalnya perselisihan hasil Pemilu.
“Seingat saya ada perkara yang dijatuhkan MK tanpa mendengar keterangan pembentuk UU. Misalnya putusan tentang pemilih yang dibolehkan memilih menggunakan KTP dan paspor,” kata Ali Syafaat.
Syarat mutlak tegaknya hukum dan keadilan adalah independensi dan imparsialitas. Independen lebih bersifat ke luar, sementara imparsial lebih bersifat ke dalam. Memang dalam praktiknya sering bertentangan dengan kenyataan. “Untuk kasus-kasus korupsi kecil yang ditangani kepolisian dan kejaksaan yang diajukan ke pengadilan tipikor, para pengacara mengeluh karena di persidangan mestinya para terdakwa bebas. Namun karena opini publik cukup kuat menekan persepsi hakim jika membebaskan terdakwa korupsi, namanya akan jelek, maka umumnya ada kecenderungan akan selalu dipenjara,” terang Syafaat.
Bahkan, lanjutnya, kemandirian dan kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, tidak hanya mandiri dari institusi luar, bahkan terhadap rekan sejawat dan struktural hakim sendiri. Karena itu, hakim tidak boleh disalahkan oleh tingkat peradilan lebih tinggi gara-gara putusan. Kalaupun hakim memutuskan sesuatu, dan di level banding dibatalkan, itu bukanlah pelanggaran. “Hakim tidak boleh dipanggil Komisi Yudisial (KY) gara-gara orang dari KY tidak setuju putusan si hakim. Itu mengganggu independensi dan imparsialitas yang merupakan mahkota hakim,” tuturnya.
Antar hakim saja tidak boleh saling melobi. Sembilan hakim MK dalam membuat keputusan harus dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam Bangalore Principles, sebuah roadmap yang dihasilkan dari konferensi yang dihadiri para hakim seluruh dunia, telah disepakati bahwa independensi itu meliputi dilarangnya hakim menerima segala bentuk apapun dari pihak berperkara, menemui pihak berperkara untuk urusan apapun, meskipun tidak membicarakan tentang perkara tertentu, dan seterusnya.
Menjawab pertanyaan Ramses Wali dari PKPI Papua tentang kemungkinan adanya intervensi dalam putusan Pemilu serentak, Ali Syafaat mengatakan bahwa kalau dilihat dari sisi munculnya persoalan bersangkutan, yang dikaitkan dengan jarak yang begitu lama antara pengambilan putusan dan dibacakannya putusan, itu tidak terkait dengan intervensi. “Berkurangnya hakim otomatis mengurangi kemampuan MK menyusun putusan, drafting-nya juga berkurang,” jelasnya. Terkait dengan penundaan hingga 2019, maka alasannya adalah sudah ada Putusan MK yang seperti itu. Sudah pernah terjadi misalkan dalam putusan untuk perkara pengadilan tipikor. (Yazid/mh)