Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) memohonkan judicial review Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. FISBI yang diwakili oleh ketuanya M. Komarudin, menilai adanya ketidakpastian hukum dalam frasa “demi hukum” yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan
Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Dalam hal ketentuan sebagaumana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara oejerha/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Frasa “demi hukum” dalam ketiga pasal tersebut berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam sidang perdana pengujian perkara nomor 7/PUU-XII/2014, Komarudin menjelaskan bahwa frasa itu diatur sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perjanjian kerja waktu tertentu, sehingga menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.
Kewenangan menetapkan pekerja kontrak menjadi pekerja tetap berada dalam kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dengan menerbitkan hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbutkan akibat hukum bagi seseorang.
Sayangnya, penetapan tertulis dari instansi berwenang di bidang ketenagakerjaan seringkali tidak dipatuhi atau dijalankan oleh pengusaha sehingga tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan industrial yang kondusif, pelaksanaan penetapan tertulis itu dapat dimintakan ke pengadilan negeri untuk dilaksanakan menurut aturan-aturan yang berlaku.
“Selama ini perusahaan seringkali mengabaikan penetapan pekerjanya dari kontrak menjadi tetap. Kita hanya bisa pasrah karena pengadilan negeri merasa tidak memiliki kewenangan menetapkan perusahaan untuk melaksanakan penetapan tertulis itu. Sementara pengadilan hubungan industri tidak mengurusi perpindahan status pekerja. Maka jangan heran saat ini banyak sekali pekerja kontrak di perusahaan-perusahaan,” jelas Komarudin usai persidangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (12/02/2014).
Oleh karena itu, Komarudin sebagai Pemohon meminta MK menambahkan frasa ‘demi hukum’ dengan frasa ‘yang pelaksanaannya dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu’ pada pasal a quo.
Potensial nebis in idem
Sementara majelis hakim panel yang diketuai Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Harjono menyarankan agar Pemohon mempelajari pengujian UU Ketenagakerjaan yang telah diputus pada 2004. Selain itu, Pemohon juga diminta mempelajari permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan dengan nomor perkara 96/PUU-XI/2013 yang juga tengah diadili di MK.
“MK sedang memeriksa dan mengadili perkara nomor 96/PUU-XI/2013, kini dalam proses pemeriksaan dan ada kesamaan. Untuk menghindari permohonan dinyatakan nebis in idem, saudara harus mempelajari perkara yang sudah diputus dan yang sedang diuji,” ujar Anwar.
Sementara Patrialis meminta Pemohon merekonstruksi permohonannya agar lebih menegaskan adanya hak konstitusional sebagai warga negara yang dirugikan atau berpotensi dirugikan. Serta ia pun meminta Pemohon memastikan pihaknya tidak mengalami kerugian apabila MK mengabulkan pengujian UU tersebut dalam putusannya.
Terakhir, Harjono menyarankan agar pemohon melengkapi permohonannya dengan pengalaman konkret adanya kerugian dengan adanya UU tersebut, khususnya frasa ‘demi hukum’ tersebut. “Karena Undang-Undang sudah dilaksanakan, dalam pelaksanaannya ada persoalan apa? Karena adanya frasa ‘demi hukum’ ini apa yang terjadi? Kalau itu menyangkut diri Pemohon jelaskan itu apa?” tandas Harjono. (Lulu Hanifah/mh)