Potensi-potensi pelanggaran dalam tahapan Pemilu yang dianggap rawan adalah pada pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, masa kampanye, masa tenang, dan pemungutan dan penghitungan hasil pemilu.
Titik rawan tersebut disampaikan oleh Aswanto, dosen FH Universitas Hasanuddin Makasar yang menjadi narasumber untuk materi Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dalam Sesi Keempat Diklat PHPU 2014 untuk PKPI, Rabu (12/2/2014) di Cisarua, Bogor. “Saya tidak akan terlalu menyiksa anda karena ada riset bahwa pekerjaan yang paling menyiksa adalah mendengarkan orang bicara. Kalau kita kena insomnia, tidak disarankan ke dokter karena hanya diberi obat tidur yang mengandung racun. Tapi cari orang ceramah, masuk di situ, insyaallah langsung tertidur,” candanya yang disambut peserta pelatihan.
Dalam konteks materi UU tentang Pemilu Legislatif, Aswanto menyebut bahwa UU 8/2012 adalah UU yang relatif baru. Orang Indonesia kesukaannya membuat UU. “Ada teman meneliti, ternyata negara yang paling banyak undang-undangnya adalah Indonesia. Bahkan ada UU yang baru saja diundangkan, dinyatakan tidak berlaku. Pada masa Habibie, ada UU Kebebasan Menyatakan Pendapat, belum diberlakukan, sudah dicabut dulu,” terangnya.
Selanjutnya, Aswanto menjelaskan dalam UU Pemilu, Pasal 4 Ayat 2 UU 8/2012 menyebutkan tahapan penyelenggaraan Pemilu di antaranya: 1) perencanaan program dan anggaran, serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu; 2) pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; 3) pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu; 4) penetapan peserta pemilu; 5) penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan; 6) pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; 7) masa kampanye pemilu; 8) masa tenang; 9) pemungutan dan penghitungan suara; 10) penetapan hasil pemilu; 11) pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
“Pemilu 2009, yang kita pakai adalah UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, yang hanya berlaku empat tahun, kemudian diubah dengan UU 8/2012. Saya ingin mempermaklumkan bahwa kehadiran saya tidak untuk menceramahi anda karena saya yakin anda semua orang hebat,” katanya.
Setelah proses pemungutan dan penghitungan hasil pemilu, bagi peserta Pemilu yang merasa dirugikan, dibuka ruang adanya Perselisihan Hasil Pemilu. Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan janji. Pelanggaran pidana adalah tindak pidana terhadap ketentuan Pemilu. Pelanggaran administrasi meliputi pelanggaran tatacara, prosedur, dan mekanisme yang terkait administrasi pelaksanaan Pemilu. “Contoh administratif adalah tidak memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampenye, pemantau Pemilu melanggar kewajiban dan larangan,” jelas Aswanto.
Dalam praktiknya, banyak sekali yang berupa pelanggaran, misalnya pelanggaran kampanye, ada yang ditindak dan ada yang tidak ditindak. “Pasal money politic misalnya, dalam konteks hukum disebut delik materil, artinya dianggap terjadi kalau ada akibatnya, ini tidak bisa dibuktikan, bahkan dianggap pasal banci,” terang Aswanto.
Sesi dialog dimanfaatkan penanya dari Riau yang menyoal gugatan sengketa hasil. Aswanto menjawab bahwa gugatan baru bisa dilaksanakan setelah ada pengumuman perolehan suara nasional. Sengketa hasil gugatannya hanya di MK, termasuk kalau ada caleg internal parpol yang memiliki bukti perolehan suaranya. “Yang bisa menjadi barang bukti adalah bukti-bukti yang memang dikeluarkan oleh lembaga yang kompeten, yakni penyelenggara pemilu. Bukan hanya form C1, tapi juga rekap pada tiap tingkatan yang dikeluarkan lembaga resmi. Pada PPS ada rekap, PPK ada rekap, kabupaten juga ada rekap. Itu semua bisa jadi barang bukti. Yang tidak punya kekuatan sebagai bukti adalah yang dibuat-buat oleh saksi kita sendiri, meskipun sebanyak satu kontainer, maka tidak akan bisa menjadi barang bukti,” jelas Aswanto. (Yazid/mh)