Dibutuhkan konsep terpadu dan menyeluruh dalam mengelola sumber daya air. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto yang mewakili Dewan Sumber Daya Air Nasional dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Sidang lanjutan perkara dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Untuk itu, dalam mengelola sumber daya air harus berlandaskan pada pengelolaan secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya air yang berkelanjutan demi kemakmuran rakyat dengan berdasar kepada asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaataan umum, keadilan, kemandirian serta transparansi dan akuntabilitas. Hal ini sudah dejalan dalam UU Sumber Daya Air,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Air, lanjut Kirmanto, merupakan unsur strategis nasional yang menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dan untuk mendukung hal tersebut diperlukan instrumen hukum yang tepat menjadi landasan hukum yang tepat. Negara berkewajiban untuk memenuhi dan menghormati air sebagai hak asasi manusia. “Oleh karena itu, tertuang dalam UU SDA, tiga landasan, yakni landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. UU SDA sudah sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. UU SDA sudah mengatur, membina, memberdayakan terutama dalam meningkatkan dan memperbaiki layanan sumber daya air yang ada,” paparnya.
Kirmanto yang juga merupakan Menteri Pekerjaan Umum mengemukakan norma dalam UU SDA tidak mengenal privatisasi, swastanisasi, komersialisasi, dan monopoli dalam pengelolaannya. “Selain itu, Pemerintah telah melakukan usaha yang baik dalam mengelola air sesuai yang diamanatkan dalam UU SDA,” imbuhnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan adanya penyelewengan terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara 058,059,060,063/PUU-II/2004 dan perkara 008/PUU-III/2005. Selain itu, Pemohon juga tidak mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang memberikan kesempatan kepada koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat untuk menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Menurut Pemohon, ketentuan yang diatur PP tersebut telah menyimpang dari penafsiran MK yang tertuang dalam pertimbangan putusan PUU Sumber Daya Air yang telah diputus pada 2005 lalu. Syaiful mengungkapkan, dalam pertimbangannya MK menyatakan, “sehingga, apabila UU a quo (Red. tersebut) dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap UU a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali. Menurut pemohon, pasal 40 UU Sumber Daya Air menegaskan bahwa pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). (Lulu Anjarsari/mh)