Konstitusi baru dapat disebut sebagai konstitusi apabila sejalan dengan tuntutan kebebasan sipil dan memuat jaminan yang pasti terhadap kebebasan sipil tersebut (Carl Schmitt, 2008).
Apa yang dikemukakan Carl Schmitt di atas adalah jawaban atas hakikat konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam negara hukum yang demokratis. Hal itu terpapar dalam makalah yang disampaikan I Dewa Gede Palguna dalam Sesi Ketiga Diklat Penyelesaian Perkara PHPU 2014 untuk PKPI dengan materi Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Rabu (12/2/2014).
Bertempat di Pusdik Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Palguna menguraikan secara teoritik bahwa pembukaan suatu konstitusi (tertulis) menduduki tempat tersendiri dalam pembahasan sistem ketatanegaraan suatu negara. Pembukaan konstitusi merupakan pengantar khidmat yang mengekspresikan gagasan-gagasan politik, moral, dan religius yang hendak dikedepankan oleh konstitusi itu (a solemn introduction….expressing the political, moral, and religious ideas which the constitution is intended to promote).
Meski demikian, tidak semua konstitusi tertulis memiliki pembukaan (preamble). Dan tidak pula setiap negara memiliki konstitusi tertulis, seperti Inggris. Di negara dengan model kerajaan ini, justru parlemen yang memiliki kekuasaan amat besar. “Demikian besarnya, jangankan pengadilan, bahkan konstitusi pun tidak dapat membatasi kekuasaan Parlemen Inggris,” kata Palguna.
Konstitusi bagi Inggris adalah sekumpulan aturan yang dianggap fundamental, yang bersumber pada kebiasaan dan tidak tertulis, namun setiap saat dapat diubah oleh parlemen tanpa harus melalui prosedur yang ditentukan sebelumnya (procedural precautions). Misalnya, persyaratan adanya pernyataan untuk mengubah konstitusi, persyaratan tentang mayoritas tertentu di parlemen atau referendum.
Memasuki Konstitusionalisme Indonesia, pemateri yang juga Ketua Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus prnah sebagai hakim konstitusi 2003-2008 menguraikan Indonesia menganut constitutional democratic state. “Sampai sekarang banyak yang bertanya Amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 masih belum melahirkan Indonesia sebagaimana dicita-citakan. Dua belas prinsip pokok negara demokrasi konstitusional, yakni supremacy of law, equality before the law, due process of law, pembatasaan kekuasaan, organ-organ pendukung yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Constitutional Court, perlindungan HAM, bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, serta transparansi dan kontrol social belum sepenuhnya terwujud,” tegas Palguna.
Demokrasi dikatakan the best of the worst (terbaik dari yang terburuk), karena itu perlu didampingi dengan nomokrasi. “Demokrasi harus didampingi hukum supaya tidak berbahaya,” kata Palguna.
Karena itu, Indonesia menganut constitutional model yang memberlakukan prinsip supremasi konstitusi. Konsekuensinya, harus ada lembaga yang bertugas melaksanakan fungsi pengujian konstitusional. Praktiknya di dunia terdapat dua model, yaitu Model Amerika (desentralized model atau difuse model) dan Model Eropa (centralized model atau Kelsenian Model). Di Perancis, sistemya agak aneh. Eksekutif maupun legislatifnya sama-sama dapat membuat UU. Eksekutif sendiri ada presiden dan menteri, baik presiden maupun menteri dapat membuat UU. Jadi di tubuh eksekutif saja bisa terjadi kekacauan. Khusus untuk Perancis, pengujian oleh Dewan Konstitusi bukanlah terhadap undang-undang, tapi terhadap rancangan undang-undang.
Sesi tanya dijawab disambut Maryati Sitanggang dari Kepri yang menyoal putusan MK yang tertunda hingga setahun lebih. Penanya kedua dari Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PKPI mengherankan Pembukaan UUD 1945 yang mestinya tidak programatik. Rudi Jamrud dari Riau yang menanyakan pendapat pemateri terhadap keseimbangan antara demokrasi dan nomokrasi. Mustafa Kamal dari Banten bertanya tentang kedaulatan rakyat di mata MK.
Secara berurutan, Palguna merespon bahwa lamanya putusan MK karena pertimbangan internal di MK sendiri. “Waktu kami menguji UU Ketenagalistrikan memakan 6 bulan, karena memang prosesnya panjang,” jawabnya. Tentang keseimbangan demokrasi dan hukum, secara norma dan kelembagaan sebenarnya sudah cukup. “Celakanya demokrasi hanya diletakkan dalam sistem politik, padahal demokrasi juga soal budaya,” kata Palguna. Pertanyaan dari Mustafa Kamal direspon bahwa MK tidak boleh aktif mencari perkara, tapi harus diam. “Pengacara dan jaksalah yang disebut sebagai penegak hukum yang aktif,” jawabnya. (Yazid/mh)