Tahun 1912, tepatnya pada 15 September, adalah tahun didirikannya parpol pertama di masa pra kemerdekaan yang bernama Indische Partij. Pendirinya adalah Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soeryadiningrat). Setelah Indische Partij dibubarkan Pemerintah Kolonial Belanda, tahun 1919 kembali didirikan National Indische Partij (NIP) yang kemudian disusul lahirnya parpol lain, yakni Indische Social Democratische Vereniging (ISDV), Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia, Partai Indonesia Raya, Sarekat Islam, Partai Katholik, dll.
Sejarah masa-masa awal parpol di atas disampaikan Irmanputra Sidin dalam Sesi Kedua Diklat Penyelesaian PHPU 2014 untuk PKPI, Rabu (12/2/2014) dengan materi Parpol, Pemilu, dan Konstitusi. Menurut Irman, di masa pendudukan Jepang, pernah berdiri pula parpol bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dipimpin Empat Serangkai (Soekarno, Moh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH Mansyur). Atas perintah Jepang pula, parpol ini dibubarkan pada Maret 1944.
“Saya senang berdiskusi dengan partai yang telah berhasil memperjuangkan dirinya sendiri saat verifikasi parpol. Seandainya parpol tidak bisa memperjuangkan dirinya sendiri, bagaimana parpol akan memperjuangkan rakyat nanti?” kata Irman.
Sebelum lebih lanjut menyampaikan materinya, Irman mengajak peserta untuk brainstorming tentang parpol. Kesempatan ini disambut Ramses Wali, Ketua DPD PKPI Papua, yang menyampaikan unek-unek tentang Provinsi Papua yang masih tertinggal hingga kini. Lasman Siahaan dari DKI Jakarta, curhat dengan jargon “Ayo Damai Berkeadilan” milik PKPI. Menurut Lasman, cara DPR membuat UU justru membuat sengsara masyarakat dan tidak berkeadilan.
Keluhan dan unek-unek peserta tersebut disambut dengan Irman bahwa sepanjang dia berkeliling ceramah ke banyak kalangan, mulai dari rakyat kecil, masyarakat pesisir, asosiasi pemerintahan provinsi se-Indonesia, hingga Lembaga Kepresidenan sekalipun, tidak satupun dari mereka yang merasakan ada keadilan. “Tidak hanya rakyat kecil, rakyat besar, bahkan negara sekalipun merasakan ketidakadilan, ini berarti harus ada yang diperbaiki di negara ini. PKPI bertanggungjawab memperbaiki itu nantinya di parlemen,” terangnya.
Ia menambahkan, PKPI berkesempatan memperbaiki negara ini karena hanya parpol sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengusulkan calon presiden. “Rakyat sejahtera atau tidak, adil atau tidak, bersatu atau tidak, semua tergantung partai politik,” kata Irman. Itu terjadi sebab parlemen maupun presiden berasal dari parpol. Desain parpol kita sejak 10 tahun lalu sebenarnya harus dikelola negara. Konsekuensinya, karena dibiayai negara, maka parpol harus fokus memikirkan negara.
Mahkamah Konstitusi bukanlah satu-satunya lembaga yang dapat berkontribusi mendesain ketatanegaraan. Namun MK harus diakui yang paling cepat dibandingkan DPR dan Lembaga Kepresidenan. “Saya diundang sebagai ahli waktu putusan pemilu serentak, tidak lama langsung ada putusan. Ini menunjukkan MK cepat dalam menjadi tumpuan harapan,” kata Irman.
Prinsip kedaulatan rakyat harus menjadi acuan bahwa yang bisa mengatur di negara ini tetaplah parlemen. Lembaga penyidikan di Indonesia ada 30 lebih, semua niatnya baik, tapi sering tabrakan antara satu dengan yang lain. Karena itu, MK menjadi harapan pertama untuk mendesain proses bernegara kita. (Yazid/mh)