Gregorius Seto Harianto, pemateri sesi pertama Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 untuk Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, menyuguhkan pertanyaan mendasar mengapa diklat ini perlu mengajarkan Pancasila dalam mengawali pemaparannya dengan materi Pancasila dan Pemilu, Selasa (11/2/2014).
Menurut Seto, alasan mendasar Pancasila diajarkan dalam diklat ini karena diakui atau tidak, sebagai bangsa, kita masih belum benar-benar mengamalkan Pancasila. Mohammad Hatta pernah berpidato panjang lebar tentang pemisahan negara dan agama. Sayangnya, catatan pidato itu sampai sekarang tidak jelas juntrungan-nya. “Bung Karno pernah menyebut Sila Kelima Pancasila adalah Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Yang dimaksud Bung Karno saat itu adalah bagaimana kita membangun negara ini untuk kepentingan bersama. Surga dimulai dari hidup di dunia ini. Karena itu, Ketuhanan harus Berkebudayaan,” urainya.
Pancasila sebetulnya memiliki konsep, prinsip, dan nilai. Selain itu, Pancasila juga memiliki tiga fungsi penting: sebagai Pandangan Hidup, Dasar Negara, dan Ideologi Nasional. Sebagai Pandangan hidup berarti menjadi pedoman kehidupan pribadi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Kalau hidup sendirian, maka tidak perlu Pancasila, kalau bergaul sesama anak bangsa, baru Pancasila diperlukan,” tuturnya.
Sebagai Dasar Negara, Pancasila jelas posisinya. Sebagai Ideologi Nasional, tolok ukurnya adalah Wawasan Nusantara. “Reformasi menjadi kebablasan karena menganggap semua yang dilahirkan Orba adalah salah. Padahal, Wawasan Nusantara yang dilahirkan Orba dulu amat penting dalam mempertegas fungsi Pancasila.
Pemilu
Terkait Pemilu, mantan aktivis Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini menuturkan bahwa sesungguhnya UUD 1945 diselesaikan Soepomo dkk hanya dalam waktu satu hari. Di dalamnya memuat konsep kedaulatan rakyat. Mengingat kecerdasan masyarakat pada waktu itu, kedaulatan diserahkan dulu ke negara, yang kemudian diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Memasuki reformasi, kita sepakat rakyat sudah cukup cerdas. Maka kedaulatan dikembalikan ke rakyat, tapi dilaksanakan menurut UUD supaya tidak anarki. “Karena Indonesia menganut ajaran Hanns Kelsen tentang teori berjenjang,” jelas Seto. UUD mengatur bahwa kedaulatan rakyat antara lain diwujudkan melalui Pemilu. “Pemilu memilih lima, yakni Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD,” tambahnya.
Sayangnya survei terkini menunjukkan persepsi masyarakat hanya dua hal mengenai parpol sebagai peserta Pemilu: buruk dan buruk sekali. Artinya, parpol masih dinilai gagal dan jelek sekali melaksanakan demokrasi. Namun demikian, keberadaan parpol dalam kehidupan demokrasi adalah mutlak adanya.
“Saya ingatkan nanti kalau Pemilu, jangan hanya memperhatikan suara sendiri, tapi perhatikan juga suara partai anda,” ingat Seto.
Dialog pada sesi ini disambut Felix Danggur dari Jatim yang memprihatinkan banyak mahasiswa kurang mengenal Pancasila. Lalu Ramses Wali dari Papua bertanya mengenai jual beli suara dalam Pemilu di Papua. Sementara Halis Lanca dari Kalteng bertanya tentang suara terbanyak. Kemudian, Taher dari Sultra bertanya tentang penyuksesan Pemilu nanti.
Terhadap keprihatinan penanya dari Jatim, Seto Harianto merespon bahwa pada April 2011 sudah digelar Pertemuan Lembaga Tinggi Negara yang membincang Revitalisasi Pancasila. “Itu kemudian melahirkan kurikulum Pancasila, Mendagri mengeluarkan Permendagri No. 71 tentang Wawasan Kebangsaan, MPR dengan Empat Pilar, MK dengan Pusdik Pancasila dan Konstitusi,” terangnya.
Pertanyaan Ramses dijawab dengan adanya kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa Pemilu. “Kita harus mencatat dan mengumpulkan bukti agar ketika berselisih, kita bisa buktikan di MK sehingga dapat dimenangkan,” tuturnya. Berperkara di MK tanpa membayar. Tidak harus pakai pengacara. Pertanyaan Halis dijawab bahwa Indonesia tidak menolak prinsip vox populi vox dei, tapi tidak serta merta suara terbanyak. “Banyak negara gagal ketika menerapkan itu,” kata Seto.
Pertanyaan Taher dijawab bahwa sebagai parpol, PKPI harus melatih kadernya melihat masalah, merumuskan, dan mencarikan solusinya. “Itu harus dilatih, bahkan cara mengemukakan pendapat pun harus dilatih,” tutur Seto. (Yazid/mh)