Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan delapan perusahaan pertambangan mengajukan pengujian ketentuan mengenai kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut dianggap telah merugikan Para Pemohon. Sidang perdana perkara ini digelar Selasa (11/2) di Ruang Sidang Pleno MK.
Para Pemohon yang diwakili Refly Harun selaku kuasa hukum menyampaikan pokok-pokok permohonan kepada panel hakim yang diketuai Hakim Ahmad Fadlil Sumadi. Refly mengatakan Para Pemohon berkeberatan dengan bunyi Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kedua pasal tersebut mewajibkan Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Kedua pasal tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah
Terhadap bunyi kedua ketentuan tersebut, Refly mengatakan dalam tingkat implementasi kedua pasal tersebut diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor biji (raw material) secara langsung. Larangan tersebut telah berlaku sejak 12 Januari 2014. “Para Pemohon telah mengalami kerugian faktual, antara lain dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menyusutkan kegiatan produksi. Yang menjadi persoalan bagi kami dari sisi konstitusional adalah tafsir pemerintah yang melarang adanya ekspor biji atau raw material. Bagi kami, hal tersebut bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945,” jelas Refly.
Lebih lanjut, Refly menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki mandat untuk melakukan pelarangan ekspor biji. Bila itu terus dilakukan, maka pemerintah telah melanggar prinsip negara hukum. Terlebih, dalam kedua pasal yang digugat oleh Para Pemohon yang harus dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK adalah meningkatkan nilai tambah dan pemurnian bahan tambang, bukan larangan ekspor biji. “Kalau larangan tersebut memang ada dalam undang-undang, maka harus dinyatakan dengan tegas dan jelas. Tafsir pemerintah tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum,” tegas Refly yang didampingi dua kuasa hukum lainnya, yaitu Maheswara Prabandono dan Ahmad Irawan.
Larangan tersebut makin menjadi tidak masuk akan dan merugikan Para Pemohon karena sampai saat ini hanya sedikit perusahaan pertambangan yang bisa memurnikan biji besi sendiri di dalam negeri. Sehinga, kalau larangan ini dipaksakan maka akan banyak perusahaan pertambangan yang gulung tikar. Pada kesempatan itu, Refly juga menegaskan bahwa pihaknya tidak meminta Mahkamah menyatakan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi, Refly meminta Mahkamah memberikan tafsir konstitusional terhadap kedua pasal tersebut.
“Petitum. Menerima permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 102 dan Paasl 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UUD 1945 bila dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor biji (raw material atau core). Menyatakan Pasal 102 dan Paasl 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor biji (raw material atau core). Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” tutup Refly membacakan petitum permohonan Para Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)