Sejumlah komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendatangi Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (11/2/2014). Mereka diterima oleh Ketua MK Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar di lantai 15 Gedung MK.
Dalam kesempatan tersebut, Komnas HAM menjelaskan pihaknya akan ikut terlibat dalam pengawalan pemilihan umum 2014 agar terwujud pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ yakni langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Mekanisme pengawalan Pemilu yang akan dilakukan Komnas HAM antara lain pemantauan di lapangan jelang dan saat Pemilu berlangsung, mediasi untuk mencegah terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM, serta ikut dalam amicus curiae apabila ada pihak yang melapor pada Komnas HAM.
Amicus curiae adalah sahabat pengadilan, merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
“Artinya Komnas HAM menjadi bagian atau mitra peradilan di Mahkamah Konstitusi apabila ada yang melapor pada kami,” jelas Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila.
Komnas HAM juga menyatakan akan lebih memfokuskan pendampingannya pada daerah-daerah rawan konflik. Menurut Siti, Komnas HAM akan melakukan pemantauan wilayah di 20 provinsi rentan konflik. Daerah rentan ini antara lain di daerah perbatasan, lembaga permasyarakatan, rumah tahanan, bandar udara, rumah sakit, dan lokalisasi. Untuk melakukan pendampingan, Komnas HAM sudah berkordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Kepolisian.
Menurut Siti, pendampingan dalam Pemilu perlu dilakukan Komnas HAM. Pasalnya, dalam proses Pemilu, potensi pelanggaran HAM cukup besar. “Potensi terbesar pelanggaran HAM adalah kaitannya dengan pemenuhan hak sipil dan politik serta proses demokrasi,” ujarnya.
Sistem Noken Tak Berlaku
Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM pun menyampaikan kekhawatirannya atas sistem noken di Papua dan Bali yang ‘dilegalkan’ MK melalui putusannya. Menurutnya, putusan MK yang melegalkan sistem noken atau memilih calon kepala daerah yang diwakilkan oleh kepala suku telah melanggar asas Pemilu yang luber dan jurdil. Lebih lanjut, sistem noken telah melanggar HAM.
Sistem noken di Papua dan Bali, telah menjadi bahan diskusi Komnas HAM. Pihaknya menilai, memilih dalam Pemilu merupakan hak sipil dan politik yang bersifat individual dan tidak bisa dimandatkan pada siapapun mengingat asas Pemilu yang telah diatur dalam undang-undang.
“Kami khawatir putusan MK yang menyatakan sistem noken sah di Papua dan Bali akan berpotensi konflik, ini yang tidak kami kehendaki. Analisa komnas HAM ada kemungkinan akan terjadi kondisi darurat,” jelas Siti.
Sehingga Komnas HAM berharap MK bisa memberi penjelasan ke publik soal Pemilu 2014 yang sama sekali tidak menggunakan sistem noken. Apabila tidak dijelaskan, Pemilu akan sarat pelanggaran HAM dan kekerasan.
“Ada pemahaman yang tidak utuh dari putusan MK. Hal tersebut berkembang di beberapa daerah yang punya kelompok masyarakat yang adatnya kuat, salah satunya di Kalimantan. Ini yang diwaspadai oleh Komnas HAM. Penting bagi MK untuk memberi pemahaman pada masyarakat, Komnas HAM, dan penyelenggara Pemilu bahwa itu (sistem noken) tidak boleh,” tegas Siti.
Menanggapi hal tersebut, Hamdan menyatakan MK berterima kasih atas pengawalan Komnas HAM dalam menegakkan sistem demokrasi. Ia pun menegaskan MK tidak pernah mengabaikan asas Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yakni luber dan jurdil yang juga tertuang dalam UU Pemilu.
Menurutnya sistem noken yang terjadi di Bali dan diperbolehkan MK merupakan kasuistis dan tidak melahirkan norma yang bersifat umum. Sehingga dalam pesta demokrasi terbesar di Indonesia yang akan digelar 9 April mendatang, sistem noken tidak berlaku.
“Memang tidak boleh pemilihan dengan perwakilan. MK memutus hal ini berdasarkan fakta-fakta konkret dalam suatu perkara. Di Papua pun sistem noken tidak seluruhnya, hanya di daerah pegunungan saja. Ada faktor-faktor khusus mengapa noken dilegalkan di daerah tersebut. Jadi MK tidak melanggar pasal, ini kasus kasuistis,” jelas Hamdan.
Sementara Patrialis mencontohkan dalam sengketa Pemilukada yang masuk ke MK, banyak yang terbukti melakukan money politics, kekerasan, bahkan pengerahan massa. Namun, MK tidak serta merta mengabulkan gugatan. Hal tersebut bukan berarti MK membenarkan pelanggaran. Konteksnya adalah apakah pelanggaran Pemilu yang terjadi memengaruhi perolehan suara atau tidak. (Lulu Hanifah/mh)