Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) memasung kebebasan berserikat organisasi masyarakat secara umum. Hal ini disampaikan Ketua Konsorsium Lombok Tengah Muhammad Muazzin Fauzi yang menjadi saksi Pemohon perkara Nomor 3/PUU-XIII/2014 dalam pengujian UU Ormas yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/2).
Muazzin mengungkapkan dengan berlakunya UU Ormas, Konsorsium Lombok Tengah merasa dirugikan karena dianggap ilegal. Padahal selama ini Konsorsium Lombok Tengah yang merupakan gabungan dari sekitar 20 lembaga swadaya masyarakat di Lombok Tengah, terlibat dalam setiap kegiatan pengambilan kebijakan di Kabupaten Lombok Tengah. “Terbentuk pada 2006 yang fokus kerja memberikan advokasi yang menitikberatkan pada kebijakan pemerintah yang terkait masyarakat sipil. Konsorsium Lombok Tengan berpihak kepada masyarakat miskin dan biasanya terlibat serta menjadi fasilitator bagi masyarakat dari desa hingga kabupaten,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Ia mengungkapkan sejak berlakunya UU Ormas, Konsorsium Lombok Tengah disebut ilegal karena tidak termasuk dalam definisi organisasi masyarakat dalam UU tersebut. Padahal sebelumnya Konsorsium Lombok Tengah kerap menerima pengaduan masyarakat tentang kesehatan, pendidikan, dan lainnya. “Namun dengan adanya UU Ormas, kami tidak tahu kenapa muncul pernyataan dari kepala Kesbangpol Lombok Tengah bahwa kami ilegal. Kami pun merasa penyebutan tidak legal tersebut memasung kebebasan berserikat organisasi masyarakat secara umum,” imbuhnya.
Sementara itu Ahli Pemohon Meuthia Ganie Rochman menyebutkan suatu UU tidak cukup hanya dilihat dari rumusannya, namun harus dilihat dari konteks nyata institusi dan organisasi. “Dalam UU ormas ada penyempitan makna dari ormas tersebut yang akan menimbulkan multitafsir,” jelasnya.
Sebelumnya, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang tercatat sebagai Pemohon pengujian UU Ormas yang baru disahkan bulan lalu tersebut dengan nomor perkara 82/PUU-XII/2013. Dalam permohonannya, PP Muhammadiyah menuntut agar MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU Ormas yang dianggap telah menghalangi hak konstitusional Pemohon. Pasal yang digugat, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat 2, Pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) huruf a UU No 17 tentang Ormas. Kemudian pada 9 Januari 2014, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyusul mengajukan permohona dengan registrasi perkara Nomor 3/PUU-XIII/2014.
Menurut Para Pemohon, UU tersebut telah membatasi hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana yang dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945. Pengekangan tersebut dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Selain itu, banyak keanehan yang terdapat dalam UU Ormas karena adanya pertentangan dan kontradiksi yang terjadi. (Lulu Anjarsari/mh)