Konflik setiap harinya terjadi. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman merupakan suatu kekuasan yang harus dimiliki oleh setiap negara.
Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono saat menerima kunjungan dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Senin (10/2/2014). Menurut Harjono, suatu negara bahkan dapat berjalan tanpa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun belum tentu berjalan tanpa kekuasaan kehakiman.
Dalam suatu negara, pasti ada aturan tertulis dan tidak tertulis. Aturan tertulis tertuang dalam undang-undang yang didalamnya terdapat pasal-pasal. Pasal, kata Harjono adalah pencerminan dari apa yang akan dibangun dalam suatu negara. Sementara capital rule-nya ada pada kekuasaan kehakiman.
Lebih lanjut, menurut Harjono, bentuk masyarakat sesederhana apapun juga di dalamnya pasti mengenal konflik. Setiap adanya konflik atau sengketa tentu harus diselesaikan melalui conflict resolution (resolusi konflik) atau dispute settlement (penyelesaian sengketa). “Dalam dispute settlement harus ada finalitasnya. Kalau tidak, integrasi dari masyarakat akan pecah,” kata Harjono.
Sehingga, selain mesti adanya mekanisme dispute settlement dalam suatu negara, perlu juga hal tersebut bersifat final. Apabila tidak begitu, imbuh Harjono, konflik akan terus berlanjut. “Putusan pengadilan apapun harus diterima apa adanya seperti itu. Kalau tidak begitu, finalitasnya terganggu. Kita bicara tentang integrasi dan kelanjutan dari society itu sendiri,” jelasnya.
Namun demikian, ketika masyarakat sudah tumbuh menjadi negara, semua harus sesuai ksepakatan. Termasuk adanya kekuasaan kehakiman, independensi kekuasaan kehakiman, dan putusannya yang bersifat final.
Harjono pun menyayangkan sikap masyarakat Indonesia yang jauh panggang dari api. Bahkan, seorang profesor ikut mengganggu kekuasaan kehakiman itu. Padahal, satu-satunya senjata kekuasaan kehakiman adalah bunyi putusan.
“Kekuasaan kehakiman tidak punya uang, tidak punya senjata, dia hanya punya bunyi putusan. Tidak ada pilihan lain, kalo kita masih ingin negara berlanjut harus dihargai,” ujarnya.
Putusan pengadilan, tak terkecuali MK, harus diterima apa adanya. Adil atau tidaknya suatu putusan pengadilan harus diterima. Adilnya pun bukan versi pencari keadilan tapi adil versi Mahkamah yang memutus. Itulah dispute settlement, kata Harjono. Apabila diputar terus maka tidak akan ada akhirnya.
Apalagi negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kedaulatan di Indonesia dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibatasi oleh hukum. (Lulu Hanifah)