Sejumlah hakim peradilan agama menyambangi Mahkamah Konstitusi untuk beraudiensi dengan para hakim konstitusi. Tiga belas hakim agama tersebut diterima oleh tiga orang hakim konstitusi, yakni Ketua MK Hamdan Zoelva, dan hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Muhammad Alim.
Para hakim memanfaatkan kunjungannya ke MK untuk membahas lebih lanjut sejumlah putusan MK berkaitan dengan pengadilan agama. Mereka juga membahas putusan MK yang akhir-akhir ini menimbulkan implikasi, yakni terkait kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya dapat menyetujui/tidak menyetujui calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY) ke lembaga legislatif tersebut. Menurut mereka implikasi dari putusan tersebut ternyata cukup memengaruhi cara anggota legislatif menyeleksi calon hakim agung.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Khalilurahman menyatakan keresahannya pada tindakan DPR yang menolak ketiga calon hakim agung yang diajukan KY. Ia menilai, apabila penolakan di DPR terus terjadi, maka kekurangan hakim agung di Mahkamah Agung akan terus bertambah. “Apa lebih baik tidak usah disetujui oleh DPR? Atau menggunakan proses seleksi seperti hakim konstitusi, yakni ada unsur DPR, MA, dan Presiden. Kita khawatir harus selayak apa pemilihan hakim agung di DPR,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Hamdan menyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan calon hakim agung diajukan oleh KY dan disetujui oleh DPR, kemudian ditetapkan oleh presiden. Jadi, kata Hamdan, hal tersebut sulit diubah karena sudah diatur dalam konstitusi.
“Kita sudah kembalikan (aturan proses seleksi calon hakim agung) ke UUD 1945. Kewenangan DPR kini hanya setuju/tidak, tidak lagi memilih. Tapi saya pikir ini hanya sementara. Ini juga untuk memperbaiki KY agar lebih profesional,” ujar Hamdan.
Selain itu, para hakim pun membahas soal putusan MK yakni putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait anak di luar nikah yang diajukan pedangdut era 1980-an Machica Mochtar dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terkait kewenangan pengadilan agama dalam memutus sengketa perbankan syariah.
Hakim Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Pelnizar mengeluhkan belum adanya aturan lebih lanjut mengenai sengketa perbankan syariah dan hubungan keperdataan dengan kewenangan pengadilan agama yang diatur dalam UU Perbankan Syariah.
“Apakah dengan sendirinya berakhir atau ada solusi lain karena masih ada Surat Edaran Mahkamah Agung yang diberikan saat administrasi syariah. Soal anak di luar nikah, masih ada beberapa hal yang perlu dituntaskan ke depan, diantaranya kita tidak bisa melihat sejauh mana hubungan keperdataan hukum umum dengan hukum Islam. Kami ingin tahu sejauh mana makna hubungan keperdataan dan kewenangan pengadilan agama,” papar hakim peradilan agama yang memutus perkara Machica.
Soal kewenangan peradilan Agama dalam sengketa perbankan syariah, menurut Hamdan putusan MK berdasar pada kebebasan dan tidak boleh melangkahi kewenangan absolut. Pasalnya, sengketa syariah itu kewenangan Peradilan Agama. “Inti putusan MK mengoreksi hal yang terjadi sebelumnya. Di bank, bisa ke peradilan umum kalau ada sengketa syariah. Itu yang kita cut,” ujarnya.
Sedangkan menurut Fadlil, untuk kasus Machica, MK melihat dari perspektif konstitusional. Tidak berdasarkan UU Perkawinan atau aturan lain, termasuk hukum agama. “Pengujian UU ini tergolong lama karena bersinggungan dengan yang dianggap hukum di agama dan yang dianggap hukum di Republik Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Aisyah Mochtar atau Machica menggugat UU Perkawinan ke MK lantaran ia meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Putusan tersebut sempat menimbulkan polemik di masyarakat. (Lulu Hanifah/mh)