Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 bagi Partai Bulan Bintang (PBB) memasuki sesi keempat dengan pemateri Aswanto, dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Rabu (05/02/2013).
Ada sebanyak 52 pasal pidana dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Saat itu ketika diundang sebagai ahli, dirinya mengusulkan agar undang-undang yang baru cukup memasukkan 9 pasal pidana. Aswanto mengatakan, undang-undang tersebut hendak menyaingi Kitab UU Hukum Pidana (KUHAP). Menurutnya, banyaknya konflik atau kasus yang berujung ke MK karena banyak penyelenggara Pemilu yang tidak memahami regulasi.
Aswanto memberikan contoh atas ketentuan pemasangan baliho, yang merupakan sarana calon anggota legislatif memperkenalkan dirinya kepada konstituen. “Namun karena adanya ketentuan pidana mengenai pembatasan pemasangan baliho lebih dari satu dalam satu kelurahan, membuat caleg yang melanggar ketentuan tersebut terancam pidana,” jelas Aswanto. “Bagaimana mungkin hanya karena baliho caleg harus dipidana, padahal itu bukan kejahatan,” lanjut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu.
Disampaikan oleh Aswanto, Pemilu hanya salah satu cara untuk memilih wakil yang diamanahkan memperbaiki bangsa. Aswanto menyatakan pernah mengusulkan pada anggota Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam perumusan UU Pemilu untuk membuat UU yang sederhana.
Lebih lanjut Aswanto menjelaskan, ada saat-saat krusial pelanggaran sering terjadi dalam Pemilu. Masa krusial pertama dimana pelanggaran rentan terjadi adalah saat penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Menurutnya setiap pemilu di Indonesia dilaksanakan, yang selalu menjadi soal adalah DPT, namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) selalu mengatakan hanya menggunakan data yang diberikan dari pemerintah, jika datanya kacau maka hasil verifikasi yang dilakukan KPU akan selalu kacau. Perbandingan pembaharuan data pemilih antara Indonesia dengan Australia, dikatakan oleh Aswanto, data pemilih di Australia selalu diperbaharui setiap detik.
Masa krusial kedua adalah pada masa kampanye, dimana petahana kepala daerah sering kali bersikap memihak dengan memberikan fasilitas lebih kepada partai politiknya. Masa krusial ketiga adalah pelanggaran yang rentan terjadi pada masa tenang, di mana banyak terjadi praktik politik uang yang sering disebut dengan serangan fajar.
Tahapan terakhir yang harus diperhatikan adalah pada tahap pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan oleh penyelenggara. Aswanto menilai, andai pelanggaran-pelanggaran itu tidak terjadi dalam Pemilu, maka MK tidak perlu repot-repot lagi menyelesaikan sengketa Pemilu. (Ilham/mh)