Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang perkara Pengujian Undang-Undang Penetapan Perpu MK yang dimohonkan oleh para pengacara yakni Andi M. Asrun dkk serta para dosen FH Universitas Jember, Selasa (4/2). Pada sidang kali ini Pemerintah yang diwakili Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi menyampaikan keterangan mengenai alasan filosofis penetapan Perpu MK menjadi UU MK.
Mualimin di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Hamdan Zoelva mengatakan alasan filosofis tentang penetapan Perpu MK menjadi UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu MK semata-mata untuk menjaga independensi dan integritas hakim konstitusi. “Penetapan Perpu MK menjadi UU No. 4 Tahun 2014 tentang MK tidak lain untuk menjaga independensi dan integritas hakim konstitusi sekaligus menjaga kelembagaan MK sendiri,” jelas Mualimin yang sudah tidak asing hadir dalam persidangan di MK mewakili Pemerintah.
Selain itu, Mualimin juga menjelaskan alasan Pemerintah terkait ketentuan mengenai syarat untuk menjadi hakim konstitusi harus sudah tidak lagi menjadi anggota partai politik minimal selama tujuh tahun. Ia mengatakan waktu selama tujuh tahun dirasa sudah cukup guna memberikan jaminan independensi dan imparsialitas bagi calon hakim konstitusi untuk memutus perkara-perkara di MK, terutama untuk memutus perkara Pemilukada yang sangat erat kaitannya dengan eksistenti partai politik.
Sementara itu terkait ketentuan mengenai mekanisme dan proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi yang harus lewat Panel Ahli, Mualimin mengatakan ketentuan tersebut hanya untuk memastikan proses seleksi hakim konstitusi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif sesuai dengan keinginan masyarakat. “Kewenangan Komisi Yudisial hanya untuk membentuk Panel Ahli berdasar usulan masyarakat yang terdiri dari mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, akademisi di bidang hukum, dan tokoh masyarakat,” papar Mualimin lagi.
Sedangkan, Pemerintah beranggapan penunjukan panel ahli untuk melakukan fit and proper test terhadap calon hakim konstitusi tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan Presiden, DPR, dan MA sebagai lembaga pengusul calon hakim konstitusi. Sebab, unsur keanggotaan panel ahli tetap melibatkan perwakilan dari lembaga pengusung tersebut. Terlebih, panel ahli tidak “berkantor” di salah satu lembaga pengusung tersebut semata-mata untuk menjamin kesamaan dan standardisasi Hakim Konstitusi.
“Panel ahli hanya melakukan fit and proper test terhadap calon hakim konstitusi yang diusulkan tiga lembaga tersebut. Nantinya, hasil kerja panel ahli dikembalikan kepada lembaga pengusung yang akan memilih dan mengajukan kepada Presiden untuk disahkan. Oleh sebab itu menurut Pemerintah kewenangan KY untuk membentuk Panel Ahli tidak bertentangan dengan Konstitusi,” urai Mualimim membacakan keterangan Pemerintah yang dibubuhi tanda tangan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin.
Tidak berhenti di situ, Mualimin juga menjelaskan alasan Pemerintah terkait ketentuan syarat pendidikan minimal bagi anggota panel ahli yang hanya bertitel magister. Memang, Mualimin membenarkan bahwa syarat pendidikan minimal bagi panel ahli lebih rendah dibanding syarat pendidikan minimal hakim konstitusi. Namun, syarat untuk menjadi panel ahli tidak hanya itu melainkan juga harus memenuhi syarat lainnya, yaitu memiliki reputasi dan rekam jejak yang tidak tercela, memiliki kredibilitas dan integritas, menguasai ilmu hukum dan memahami UUD 1945, berusia paling rendah 50 tahun, dan tidak menjadi anggota Parpol paling lama 5 tahun sebelum panel ahli dibentuk.
“Magister maksudnya minimal saja, tidak menutup kemungkinan bergelar doktor juga. Panel ahli bertugas menguji dan yang diuji (dari calon hakim konstitusi, red) tidak hanya kemampuan akademiknya saja melainkan menguji integritas, kemampuan manajerial, rekam jejak dan sebagainya. Sehingga Pemerintah menyatakan ketentuan ini sudah sejalan dengan amanat Konstitusi,” tukas Mualimin. (Yusti Nurul Agustin/mh)