UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu MK Menjadi Undang-Undang yang memperbesar kewenangan Komisi Yudisial (KY) keluar dari yang kewenangan yang diberikan konstitusi dalam hal terkait rekrutmen dan pengawasan hakim konstitusi diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pengacara yang sering berperkara di MK, seperti Andi M. Asrun, Daniel Tonapa Masiku, Heru Widodo, Dorel Amir, Robikin Emhas, Syarif Hidayatullah, dan para dosen Fakultas Hukum Universitas Jember mengujikan aturan tersebut, Kamis (30/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon tersebut menyampaikan poin-poin perbaikan dalam permohonan mereka.
Di hadapan Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Harjono, Asrun yang mewakili Para Pemohon Perkara No.1/PUU-XII/2014 ini menyampaikan ada dua Pemohon Prinsipal yang mengundurkan diri, yakni Robikin Emhas dan Syarif Hidayatullah. Asrun pun menyampaikan telah melakukan perbaikan-perbaikan sesuai saran hakim pada sidang pendahuluan, Kamis (23/1). Pada kesempatan tersebut, tujuh bukti tertulis yang diajukan Asrun dkk disahkan secara langsung oleh Harjono.
Sedangkan Pemohon Perkara No. 2/PUU-XII/2014 yaitu para dosen FH Universitas Jember yang pada persidangan kali ini diwakili oleh Nurul Ghufron menyampaikan adanya penambahan satu pasal yang diajukan untuk diuji, yakni Pasal 18C ayat (2) UU No. 4 Tahun 2014. “Kami dari pokok-pokok yang telah kami sampaikan sebetulnya sudah merasa cukup, tetapi dalam perkembangannya kami masih merasa perlu menambahkan Pasal 18C ayat (2) yang masih belum kami cantumkan dalam permohon kami sebelumnya,” ujar Ghufron.
Harjono pada kesempatan tersebut juga mengesahkan dua bukti yang diajukan Nurul Ghofran dkk. Kedua bukti yang diajukan adalah UU 4/2014 tentang MK dan UUD 1945.
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Asrun menyampaikan keberatan pihaknya yang menganggap UU No.4/2014 telah melanggar konstitusi. Ada tiga hal yang dipermasalahkan oleh Asrun dkk, yaitu adanya penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, adanya mekanisme proses seleksi pengajuan hakim konstitusi dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Asrun dan rekan-rekannya juga tidak setuju dengan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang diharuskan sudah tidak lagi menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun.
Sedikit berbeda dengan permohonan Asrun dkk, para dosen FH Universitas Jember menggugat ketentuan tentang pembentukan panel ahli dan syarat uji kelayakan bagi calon hakim konstitusi. Diwakili salah satu Prinsipal Pemohon yakni Nurul Ghufron, para dosen ini keberatan dengan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi oleh Panel Ahli. Pemohon merasa hal tersebut janggal karena seorang calon hakim konstitusi disyaratkan memiliki jenjang pendidikan minimal dotoral dan berstatus negarawan. Namun, Panel Ahli yang menguji calon hakim konstitusi justru memiliki pendidikan minimal magister.
Selain itu, Ghufron dkk juga menggugat kewenangan KY dalam keterlibatannya mengangkat hakim konstitusi. Pemohon berpendapat KY adalah lembaga negara yang bersifat penunjang dan bukan lembaga negara pemangku kewenangan pokok dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pascaamandemen. Pemohon pun beranggapan KY hanya memiliki tugas khusus untuk mengusulkan hakim agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan maupun keluhuran martabat hakim agung. (Yusti Nurul Agustin/mh)