Sesi kedelapan, sesi terakhir Diklat Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 untuk Partai Hanura adalah materi Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi disampaikan oleh Dr. Janedjri M. Gaffar, Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), di di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, di Cisarua, Bogor, Kamis (30/1/2014).
Janedjri menyampaikan materi setelah sesi praktik menyusun permohonan Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014. Menurut Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan permohonan nanti adalah poin-poin mengenai Kewenangan Mahkamah, Legal Standing, dan Tenggat Waktu. “Batas waktu penyerahan permohonan adalah 3x24 jam setelah diumumkan hasil Pemilu oleh KPU. Untuk 3x24 jam pertama, waktunya tidak boleh dilampaui. Kemudian ada 3x24 jam kedua jika permohonan Pemohon masih belum lengkap, sekaligus menyerahkan asli permohonan,” terang Janedjri.
Dalam yurisprudensi MK, permohonan harus sudah diputus 30 hari sejak permohonan dicatatkan di buku registrasi. Waktunya sangat terbatas. Lewat satu menit pun akan ditolak oleh MK. Jadi, ketika sudah masuk tahapan pemungutan suara 9 April 2014 nanti, semua caleg harus sudah bersiap-siap. “Kita tidak berharap calon menghalalkan segala cara. Ini pentingnya kita bertemu dalam diklat,” kata Janedjri.
Dalam presentasinya, Janedjri sekaligus juga mengajarkan peserta diklat cara membuat surat permohonan pengajuan perkara, mulai dari pencantuman logo parpol, nomor surat, hingga penyebutan Keputusan KPU yang digugat dalam surat. Antara nomor yang ditulis di tabel alat bukti permohonan, juga harus sama dengan bukti yang dibawa. Untuk memudahkan, juga harus pakai format yang sama. “Sistematika permohonan diatur per provinsi dulu, setelah itu kabupaten/kota. Ini harus paham. Nanti tiap partai akan diberi softcopy (dalam bentuk CD) dan hardcopy langsung ke DPP-nya. Jika kurang, partai dapat menggandakan sendiri,” Janedjri mengajarkan.
Ia menambahkan, yang harus dipahami, permohonan itu jadi satu, tidak sendiri-sendiri. Harus dipersiapkan sejak awal, jangan hanya setelah ditetapkan KPU baru siap-siap. Semua bukti harus dikumpulkan, dan jangan hanya mengandalkan tim kuasa hukum. Menurutnya lagi, ketika suara seorang calon legislatif dipersoalkan calon lain, MK telah menyiapkan mekanismenya. Syaratnya, setiap Pemohon harus mendapatkan legal standing dari Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Partai. Calon perseorangan pun diberi legal standing karena filosofinya terkait Putusan Mahkamah, serta perolehan suara yang didasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut.
“Jangan coba-coba dengan Pemilu, siapkan mulai sekarang. Jangan nanti sampai terkaget-kaget setelah hasilnya keluar,” tutur Janedjri. Ia mengingatkan jangan nanti persoalan administrasi hanya diserahkan ke kuasa hukum saja, lebih baik dirapikan terlebih dulu. Jika rapi sejak awal dalam menyusun permohonan, itu akan memudahkan Pemohon sendiri.
Dalam praktiknya, jarang sekali calon legislatif dapat memenuhi angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), bahkan di atas BPP. “Misalkan ada tiga calon bernama Suhadak, Siti,dan Nixon, masing-masing mendapatkan 100 suara, 150 suara, dan 200 suara. Maka yang jadi adalah Nixon meksipun tidak mencapai BPP,” Janedjri mencontohkan. Menurutnya, contoh itu berangkat dari norma dasar Konstitusi tentang Supreme Law of the Land.
Sekjen MK ini mewanti-wanti bahwa dalam perkara Pemilu Legislatif 2014 nanti akan banyak oknum yang menawari dan membujuk untuk membayar sejumlah uang, bahkan sampai ada yang mencatut namanya. “Jangan pernah percaya siapapun orangnya yang menawarkan demikian,” katanya.
Dalam diklat ini, peserta bernama Nawir dari Hanura Sulbar sempat menanyakan persandingan perolehan suara, apa dasar penetapan salah benarnya. Janedjri menjawab itu berdasarkan alat bukti yang disampaikan dan keyakinan hakim. Pertanyaan mengenai besarnya kekuasaan MK hingga sampai dapat membatalkan UU yang dibentuk 560 anggota DPR bersama Presiden dan Wakil Presiden, Janedjri merespon bahwa sampai hari ini pun dirinya masih sering mendapatkan pertanyaan serupa. “Karena itu bukan kemauan MK, tapi kemauan Konstitusi. Pendekatannya pun bukan kuantitatif, tapi filosofis. Sepanjang ada pelanggaran Konstitusi, maka dapat dibatalkan MK,” pungkasnya. (Yazid/mh)