Kata “segera” dalam rumusan pasal 18 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai tembusan surat perintah penangkapan bagi keluarga dinyatakan konstitusional bersyarat jika dimaknai “segera dan tidak lebih dari tujuh hari”. Putusan dengan Nomor 3/PUU-XI/2013 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Kamis (30/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Frasa ‘segera’ dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘segera dan tidak lebih dari tujuh hari’,” ucap Hamdan.
Dalam pokok permohonan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan menurut Mahkamah, Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil karena dalam pelaksanaan menimbulkan penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda oleh para penegak hukum selanjutnya dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka. Hal ini, menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum, namun demikian, apabila ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat maka justru dapat menghilangkan kewajiban penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan tersebut.
“Sehingga justru menimbulkan pelanggaran terhadap asas perlindungan hukum dan kepastian hukum. Oleh karena itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu menafsirkan mengenai frasa ‘segera’ pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP,” ujar Maria.
Menurut Mahkamah, lanjut Maria, dengan mempertimbangkan perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak diterbitkan surat penangkapan tersebut. Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan pula perbedaan jarak, cakupan dan kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia, terdapat kemungkinan dibutuhkan jangka waktu yang lebih dari 3 x 24 jam untuk penyampaian salinan surat perintah penangkapan kepada para keluarga tersangka yang berada di wilayah administratif yang berbeda, atau berada di kota/kabupaten atau provinsi yang berbeda dengan tempat tersangka tersebut ditangkap dan/atau ditahan. Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran yang dapat diterapkan secara umum untuk mengakomodasi perbedaan kondisi tersebut dengan tetap mengutamakan kepastian hukum.
Dalam hal ini, waktu tujuh hari merupakan tenggat waktu yang patut untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan tersebut. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sesuai dengan asas kepatutan dan kepastian hukum, frasa “segera” dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 18 ayat (3) KUHAP beralasan menurut hukum untuk sebagian,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)