Sidang pengujian UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani - Perkara No. 87/PUU-XI/2013 - kembali berlanjut pada Kamis (30/1) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon yaitu Dianto Bachriadi peneliti di Agraria Resources Center dan Tejo Pramono aktivis jaringan petani internasional. Pemohon diantaranya dari Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia, Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD) yang melakukan uji materi Pasal 59, Pasal 70 ayat (1), dan Pasal 71 ayat (1) UU Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian.
Ahli Pemohon, Dianto Bachriadi menjelaskan, sejak 1983 sampai 2013 hasil sensus pertanian terakhir, itu jumlah petani gurem di Indonesia luar biasa besar, hampir meliputi 55% pada 2013. Sedangkan pada 1983 jumlahnya hanya 45%. Selain itu petani yang tak memiliki tanah di Indonesia juga luar biasa besar jumlahnya, tahun 1983 mencapai 21%.
“Saya memang belum menghitung untuk tahun 2013 hasil sensus pertanian. Tapi kalau kita lihat trennya, itu saya yakin angkanya juga paling tidak sama atau bertambah,” kata Dianto.
Dikatakan Dianto, petani tak memiliki tanah dan petani gurem adalah sumber kemiskinan di Indonesia. Tugas negara untuk menyejahterakan rakyatnya, memberantas kemiskinan. Dalam konsep hukum agraria Indonesia, salah satu prinsipnya adalah land reform atau pembagian tanah.
“Tanah negara yang diberikan kepada petani-petani miskin, petani penggarap khususnya dan petani tak bertanah atau buruh tani sudah diatur dengan jelas sekali dalam undang-undang,” jelas Dianto.
Bahkan tanah negara yang digarap petani bisa menjadi hak milik, walaupun ada sejumlah prasyarat-prasyarat tertentu. “Diberikan sebagai hak milik setelah digarap secara produktif 15 tahun oleh yang bersangkutan. Setelah dipenuhi, pembayaran ganti rugi dengan cara mencicil, kalau tanah negara itu berasal dari tanah-tanah individu yang diambil oleh negara untuk dibagikan,” urai Dianto.
Sedangkan Pasal 59 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani hanya menyebutkan bahwa tanah negara bisa diberikan kepada petani dalam bentuk jenis-jenis hak, hak sewa, izin usaha, dan sebagainya, tidak disebut pemberian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum agraria tentang redistribusi tanah atau land reform itu.
“Dalam pandangan saya, Pasal 59 ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33. Di samping itu, Pasal 59 undang-undang tersebut juga bertentangan dengan prinsip hak pemfungsian negara. Prinsip hak pemfungsian negara yang menjadi inti dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Bahwa negara bukan pemilik tanah, tapi negara hanya menguasai. Artinya negara hanya mengatur diberi kewenangan untuk mengatur dan mengadministrasikan peruntukan hak atas tanah,” papar Dianto kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Sementara itu Ahli Pemohon lainnya, Tejo Pramono mengungkapkan, kehadiran kelompok tani dan gabungan kelompok tani terlahir dari semangat revolusi hijau. Artinya, kelompok-kelompok itu adalah kelompok yang akan melaksanakan program yang telah disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini banyak kasus bahwa mereka itu akan mendapatkan pestisida, benih, dan lainnya. Di sisi lain ada masyarakat adat melakukan praktik pertanian yang membuat benih lokal, melakukan pengkomposan, mereka melakukan rotasi tanah, dan sebagainya.
Di sisi lain, Tejo mengamati tidak pernah mendapati petani Indonesia bisa berdaulat. “Yang berdaulat itu adalah korporasi-korporasi agro bisnis dan meletakkan petani sebagai pembeli dari sarana produksi pertanian yang mereka bikin. Kalau mereka tidak punya lahan, bagaimana kita bisa menatap Indonesia dengan keluarga tani yang berdaulat,” tandas Tejo kepada Majelis Hakim. (Nano Tresna Arfana/mh)