Sesi ketujuh pada Diklat Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 bagi Partai Hanura menyuguhkan materi Independensi dan Imparsialitas Lembaga Peradilan yang disampaikan oleh Dr Andi Irmanputra Sidin. Irman, panggilan akrabnya, adalah pengajar hukum tatanegara di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dalam sambutan awalnya, Irman memancing peserta terlebih dulu untuk melihat bagaimana independensi dan imparsialitas lembaga peradilan di Indonesia saat ini, setidaknya selama kurang lebih 10 tahun terakhir.
Peserta bernama Baharuddin Nahris dari Hanura Kalbar menyambut tawaran Irman dengan menyoal putusan-putusan lembaga peradilan selama ini. “Parameternya, jika putusan itu tidak memihak, dan hakim-hakimnya bersih, maka dapat dikatakan independen,” tegas Baharuddin.
Respon selanjutnya dari Marnafi dari Hanura Sumut, yang mengemukakan hakim di Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, hingga Pengadilan Arbitrase, dirasakan tidak mencerminkan keadilan. “Yang ada adalah kepentingan para hakim, kepentingan fulus, dengan metode NO, dan lain-lain,” keluhnya.
Ivan Monoarfa dari Sulteng, mengatakan ketika ada pemilihan hakim agung, kok di-fit and proper test oleh lembaga yang sama.
Tiga respon tersebut disimpulkan Irman sebagai bukti masih adanya pekerjaan berat untuk mewujudkan independensi dan imparsialitas lembaga peradilan di Indonesia. “Dalam UUD 1945, disebutkan hak setiap warga negara adalah mendapatkan peradilan yang fair. Guna mendapatkan itu, maka independensi kekuasaan kehakiman harus dibangun dalam sistem ketatanegaraan kita, walaupun prakteknya tidak mudah,” kata Irman.
Banyak faktor yang merusak independensi kekuasaan kehakiman. Sebelum amandemen konstitusi, para hakim adalah anak buahnya Menteri Kehakiman sebagai bosnya. Jika konstruksinya seperti itu, tidak mungkin pengadilan bisa berlaku fair bagi pencari keadilan, apalagi bila yang dilawan adalah penguasa. “Pasti mereka akan berpihak pada penguasa, puluhan tahun praktek ini berjalan. Kekuasaan kehakiman bisa dikendalikan eksekutif, dan berakibat dikendalikan juga oleh kekuasaan ekonomi. Karena itu tadi Bapak dari Sumut mengatakan hakim dikendalikan oleh kekuatan fulus,” terang Irman.
Reformasi 1998 menyadari itu. Kekuasaan kehakiman harus punya rumah sendiri, tidak boleh numpang-numpang. Walau sekarang regulasi sektor kekuasaan kehakiman masih bergantung pada instrumen regulasi oleh Presiden. “Misalnya aturan keuangan, gaji hakim agung, masih bergantung Kementerian Keuangan, rekrutmen kepegawaian masih diatur oleh eksekutif, dan seterusnya,” lanjut Irman.
Dalam 10 tahun terakhir, muncul masalah baru. Yang paling tertuduh mengganggu independensi peradilan justru dari parpol sendiri. Dalam Perpu MK yang baru dikeluarkan Presiden, ada ketentuan hakim konstitusi dari parpol harus ada tenggat waktu tujuh tahun telah berhenti dari parpol. “Ini menunjukkan parpol dianggap sebagai ancaman independensi,” pungkas Irman. Kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar menunjukkan hal itu.
Irman mengamati Putusan MK tentang Pemilu Serentak 2019, sebelum diputuskan pada hari dibacakan putusan, hampir semua kekuatan politik, termasuk media, gencar menyuarakan setuju Pemilu serentak, tapi jangan 2014. Terlepas sepakat atau tidak, itu adalah ancaman terhadap independensi kekuasaan kehakiman. Terdakwa koruptor yang disidangkan di Pengadilan Tipikor, hakim-hakim yang memutus melepas koruptor, dapat dihajar habis-habisan oleh media dan kekuatan lainnya. Ini juga model ancaman terhadap independensi.
Hakim tidak boleh dan tidak bisa membuat putusan untuk menyenangkan orang banyak. Jika itu dilakukan, itu juga potensi ancaman independensi kontemporer. Dulu kekuasaan hanya pada satu tangan. Ini kristalisasi sejarah di dunia. Tidak ada yang berniat jahat, semua baik. Tapi lama kelamaan, akhirnya semaunya sendiri. Niat jahatnya pun muncul dan kekuasaannya absolut. Rakyat pun mengatakan kekuasaan tidak dapat lagi pada satu tangan, meski niatnya baik sekalipun. Harus dibuat kontrak sama-sama.
Tidak boleh atas nama niat baik, eksekutif maupun yudikatif dengan standar moralnya sendiri memutuskan aturan tertentu atau menghukum orang tanpa persetujuan rakyat. Apalagi, itu berakibat pada tercabutnya kebebasan warga negara. “Ini masih menjadi anomali dalam sejarah perjuangan konstitusi kita. Saya sering cerita teman-teman di DPR, kalau ada putusan hakim di bidang pidana, harus diantisipasi. Hakim pidana tidak boleh progresif. Kesepakatannya harus jelas,” tegas Irman.
Saat menjelaskan materi, Gusti Randa selaku perwakilan DPP Hanura memotong penjelasan Irman dan meminta narasumber lebih menjelaskan tentang apa persiapan yang harus dibawa oleh para peserta yang sebagian besar caleg dalam menghadapi sengketa di MK, serta bagaimana mengantisipasi para hakim yang latar belakangnya dari parpol. “Sebab kita adalah calon legislatif, bukan calon hakim,” keluh Gusti Randa.
Menjawab keluhan Gusti Randa, Irman menjawab tidak ada masalah hakim yang mantan parpol, meskipun dia pilihan Presiden. “Saya tidak ingin menghadap-hadapkan antar partai politik. Menurut saya tidak perlu terlalu kuatir dan syakwasangka,” tegas Irman. Dia menambahkan, ia juga malah berharap ke Hanura sebagai parpol untuk memperjuangkan independensi. “Saya ini bukan siapa-siapa, hanya warga biasa, justru andalah yang nanti akan duduk di DPR yang menjadi representasi negara ini,” tambahnya. (Yazid/mh)