Sesi Keenam Diklat Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 untuk Partai Hanura menyuguhkan materi Hukum Acara Penyelesaian PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD oleh Dr. Harjono, Rabu (29/1/2014) pukul 19.30 wib. Pria kelahiran Jatim ini mengawali presentasinya dengan memaparkan adanya penyempurnaan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tujuannya untuk memudahkan para Pemohon beracara di MK.
“Bagi parpol, yang diperlukan adalah pengorganisasian ke dalam agar dalam jangka waktu yang ditentukan UU, yaitu 3x24 jam setelah KPU mengumumkan hasil Pemilu secara nasional, cukup waktu dibawa ke MK. Jika tidak diluangkan, maka daerah yang jauh dari Jakarta akan terlambat memasukkan permohonan di MK,” ujar Harjono.
Menurutnya, ketentuan-ketentuan memohonkan sengketa pemilu di MK sebenarnya sangat singkat. UU MK Pasal 74 mengatur tentang perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 74 menyebutkan perorangan warga negara Indonesia, pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu, dan parpol peserta Pemilu. “Pasal 74 meng-cover semua Pemilu. Bagi Hanura, jika ada yang mendaftarkan permohonan, maka yang mengajukan harus parpol peserta Pemilu, yakni DPP Hanura,” jelas Harjono yang saat ini masih menjabat Hakim Konstitusi.
Karena dikenal daerah pemilihan (dapil), maka perhitungan suara didasarkan pada dapil masing-masing. Kemenangan tercermin di dapil itu juga. Jika mendapatkan suara terbanyak, maka juga bisa mendapatkan kursi yang banyak. Namun, tidak selalu secara otomatis parpol yang mendapat suara terbanyak, mendapatkan kursi lebih banyak dari yang parpol yang lebih sedikit di bawahnya.
“Contoh, Hanura mendapatkan seribu suara, sementara Demokrat 900 suara, bisa jadi Demokrat masih leading atas kursi yang diperoleh, sebab bisa jadi perolehan seribu suara Hanura terkonsentrasi hanya pada satu orang saja, sementara Demokrat terdistribusi secara lebih merata,” urai Harjono. Mengenai permohonan perorangan, dibolehkan bagi yang merasa dirugikan dalam perhitungan suaranya. Hanya, calon perorangan ini tidak boleh maju sendiri, tapi tetap melalui pintu parpol. Ini perlu diketahui tidak saja oleh pengurus partai, tapi juga oleh calon yang merebut kursi. Memang agak rumit, sebab UU sudah menyatakan tidak didasarkan atas nomor urut lagi, tapi atas perolehan suara terbanyak.
Dulu, ketika masih kewenangan parpol murni, yang berebut adalah nomor di atas. Tapi saat ini meski nomor sepatu alias nomor urut bawah, tetap bisa bersaing dengan nomor urut atas, apalagi jika lebih dikenal masyarakat.
Harjono mengingatkan peserta diklat agar memanfaatkan waktu menunggu saat ini hingga tiga hari setelah pengumuman KPU nanti. “Caranya, paling tidak anda mendapatkan form C1 di setiap TPS, kemudian perhitungan di PPS, PPK, dan seterusnya,” tegas Harjono. Karena itu, Harjono menekankan agar partai perlu memfasilitasi proses penghitungan suara para calegnya, karena prakteknya agak rumit.
Jadi, partai yang mengajukan adalah pimpinan pusatnya (Dewan Pimpinan Pusat) dan bertanggungjawab mengoordinasikan kesiapan permohonan sengketa untuk semua calegnya di seluruh Indonesia. Jika permohonannya perorangan tanpa persetujuan parpol, maka MK juga akan menolaknya.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, MK memiliki tiga panel, masing-masing panel tiga hakim konstitusi dan bersidang 24 jam, karena ada ketentuan yang mengatur 30 hari (untuk Pemilu Legislatif) dan 14 hari (untuk Pemilu Presiden) harus diputus MK. “Jadi, MK juga akan terbantu apabila data-data anda tersusun dengan baik, karena itu perlu anda persiapkan sejak sekarang,” pinta Harjono.
Pada prinsipnya, UU MK memberikan hak untuk mendapatkan keadilan dan penghitungan yang benar. “Mengapa waktunya mepet, dan keputusannya final? Kalau tidak mepet, kapan pelantikannya? Apalagi kalau dimungkinkan melakukan banding, hingga kasasi. Bisa-bisa, masa jabatan sudah habis, kasusnya belum diputus. Malah bisa tersusul pemilu berikutnya. Atau, DPRD yang dilantik tidak memenuhi syarat jumlah yang ada, sehingga tidak kuorum, tidak bisa mengambil keputusan, sekaligus tidak bisa bersidang,” urai Harjono. Itulah mengapa sangat penting kepastian hukum dalam penyelesaian perkara PHPU Legislatif.
Dalam sesi tanya jawab, Mochtar dari Maluku menanyakan perselisihan suara yang diduga pasti terjadi, serta cara memperoleh C1. Penanya kedua, bertanya tentang perselisihan suara di daerah yang pelaporannya ke MK. Penanya ketiga, Baharuddin Nahris dari Kalbar, bertanya siapa yang menandatangani permohonan ke MK, lalu apakah C1 itu yang asli atau fotokopi, serta batas waktu pengajuan permohonan. Penanya keempat, Situmorang dari Kepri bertanya kecurangan oleh penyelenggara pemilu dan sanksi pidana atas kecurangan yang dilakukan penyelenggara. Penanya kelima bertanya mengenai registrasi parpol dan Putusan MK yang salah masih bisa diperbaiki MK sehubungan keputusan yang final dan mengikat.
Secara berurutan, Harjono menjawab mengenai cara mendapatkan dokumen. Perhitungan pertama adalah di C1, dibagikan ke semua saksi, masing-masing parpol punya, jika masih ada selisih, maka tekniknya adalah mengurut secara berjenjang mulai kabupaten hingga ke desa. Tujuannya untuk mendapatkan data yang betul. “Terkadang Pemohon tidak punya C1, padahal ketentuannya setiap peserta mendapatkan C1. Dan tidak harus aslinya, bisa fotokopi. Karena itu penting bagi parpol mengorganisir dirinya,” jawabnya.
Sistem Pemilu sebenarnya sudah ada mekanisme koreksi, jika proses koreksinya benar, maka tidak akan banyak yang menggugat ke MK. Karena itu, kehadiran saksi yang menghitung secara benar, diperlukan.
Mengenai kewenangan MK untuk menerima permohonan dari seluruh daerah, itu adalah ketentuan UU. Selanjutnya mengenai yang berhak menandatangani, adalah pengurus pusat parpol. Kemudian pemberi nomor registrasi adalah petugas MK, bukan parpol. “Parpol hanya memberi nomornya sendiri untuk memudahkan parpol bersangkutan, sementara nomor registrasi MK adalah untuk kepentingan persidangan,” tanda Harjono.
Mengenai kesengajaan penyelenggara, dapat digunakan beragam cara untuk mengetahui ada kesengajaan atau tidak. Sementara untuk sanksi pidana, ada dalam UU Pemilu, namun bukan MK yang menjatuhkan, tapi urusan peradilan pidana. (Yazid/mh)