Sesi kelima Diklat Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 untuk Partai Hanura menyuguhkan materi Penalaran dan Argumentasi Hukum oleh Dr. Yuliandri, Rabu (29/1/2014) pukul 16.30 wib. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang ini menyampaikan bahwa forum diklat adalah upaya untuk menghadapi Pemilu dan bagaimana menghadapinya jika orang lain tidak menggunakan hati nuraninya.
Dekan FH Universitas Andalas ini menguraikan MK berkepentingan dengan forum ini jika nantinya ada sengketa Pemilu. “Sengketanya bukan saja partai dengan partai, tetapi juga perorangan dengan partai,” tandasnya. Ditambahkannya, di Padang ada ungkapan Pemilu Berencana, yang artinya Pemilu Bersaudara, yang mengandaikan mestinya Pemilu dapat berjalan damai.
Terkait topik diskusi, kepentingannya bukan untuk pemohon, tetapi justru untuk hakim. Sebab, hakim adalah peran utama dalam menyelesaikan berbagai macam sengketa. “Di peradilan manapun, hakim akan menggunakan topik ini. Tapi meski demikian, bukan berarti tidak penting bagi kita,” kata Yuliandri. Lanjutnya, jika bersengketa, dan tidak bisa memberikan keyakinan kepada hakim, maka akan diketahui apa yang akan terjadi.
Hakikatnya, sengketa pemilu berpotensi terjadi perbedaan hasil suara yang dilakukan KPU. “Obyek sengketa pemilu adalah terjadinya ketidaksesuaian,” terangnya. Penalaran adalah bagaimana dapat merumuskan pendapat yang benar sebagai hasil dari suatu proses berpikir untuk merangkaikan fakta-fakta menuju suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh akal sehat. Sementara argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk memengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka percaya dan akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau pembicara.
Penalaran hukum adalah cara berpikir atau menggunakan dan mengendalikan suatu masalah di bidang hukum dengan nalar. Sementara argumentasi hukum adalah keterampilan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah-masalah hukum (legal problem solving) yang membutuhkan pengetahuan atau keahlian spesifik di bidang hukum. “Dalam teori, secara akademik, berargumen bisa pre maupun post factum,” tutur Yuliandri.
Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang Sarjana Hukum (termasuk hakim, dll) selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems). Kemampuan dimaksud meliputi perumusan masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya, dan mengambil keputusan. “Karena itu anda yang hadir di sini sebagian diminta yang bidang hukum, karena dituntut kemampuan tersebut,” tandas Yuliandri.
Di Pilkada, dari identifikasi perkara yang masuk ke MK, permohonan PHPU Kepala Daerah yang masuk ke MK cenderung didasarkan pemikiran yang tidak logis. Ketika kalah, ada yang ngompori untuk berperkara di MK tanpa menghitung persiapan dan argumentasinya. “Saya meneliti sejak 2005, yang kalah selalu maju tanpa memiliki kemampuan rumusan hukum logis,” kata Yuliandri.
Kemampuan berargumentasi didukung kemampuan menganalisis fakta di lapangan. “Contoh, di Pilkada ada fakta di TPS, di tahapan kampanye sering bikin atribut. Ada saksi partai tertentu memakai kaos atribut, dirangkap dengan memakai jas biasa. Sisi lain, ada anak kecil belasan tahun disuruh orang tuanya, yang juga memakai atribut. Analisis dua fakta tersebut: fakta pertama, anak kecil tidak berpengaruh terhadap pemilih, fakta kedua, saksi partai yang memakai kaos tadi berpengaruh ke pemilih (bernilai hukum),” papar Yuliandri.
Di MK, sering bukti yang diajukan tidak relevan. Problemnya, ada batasan waktu. Setelah KPU mengumumkan hasil, peserta hanya diberi waktu 3x24 jam. Secara formal, UU sudah menuntun; ada Peraturan KPU tentang Tahapan Pemilu. Itu adalah panduan untuk mengidentifikasi fakta-fakta. Pertanyaannya, apakah kita punya kemampuan mengidentifikasi semua fakta tersebut? Karena tidak semua fakta menjadi bahan yang punya nilai. Form C1 KPU yang sering jadi bukti, itupun tidak semua bernilai.
Selanjutnya, fakta bernilai hukum atau tidak, diuji dengan aturan. Anak kecil memakai atribut tidak ada aturannya, sementara saksi memakai atribut, ada aturannya dan itu pelanggaran. “Level peraturan bermacam-macam, ada yang di level UU, ada yang di level Peraturan KPU,” jelas Yuliandri.
Peran Penalaran dan Argumentasi Hukum
Ada dua kunci utama dalam peran penalaran dan argumentasi hukum. Peran pertama untuk penyusunan permohonan dari pemohon, baik PUU maupun PHPU (Pileg dan Kepala Daerah). Peran kedua, untuk pemeriksaan dan penyusunan Putusan oleh Hakim MK. Materi permohonan sendiri untuk PHPU Pileg sesuai PMK 3/2013, terdiri atas nama dan alamat Pemohon, uraian yang jelas tentang (1) kesalahan penghitungan suara oleh KPU dan yang benar menurut Pemohon; dan (2) permintaan untuk membatalkan penghitungan oleh KPU dan menetapkan penghitungan suara yang benar oleh Pemohon.
“Cara membuat permohonan, polanya bisa berbalik-balik. Sistematika permohonannya sama, namun untuk membua posita, kita bisa mulai dari asumsi petitum kita,” ujar Yuliandri. Ia melanjutkan psikologi orang berperkara adalah mengeluarkan semua hal, yang kemudian dianggap benar. Yang bisa mengerem dan menyeleksi biasanya adalah para pengacara; mana yang bisa jadi alasan utama, dan pertimbangan apa yang dipakai. Kemampuan berargumentasi hukum adalah kunci keberhasilan di MK.
Dalam sesi tanya jawab, penanya pertama dari Hanura Sumut ingin meminta kejelasan mengenai peraturan atribut dan ketentuan-ketentuannya. Penanya kedua, Rumaksi dari NTB, menanyakan orang yang buta aksara dan tunanetra dalam Pemilu. Penanya ketiga dari Hanura Malut bertanya tentang pergantian jabatan KPUD yang baru, terutama di Maluku Utara.
Berturut-turut Yuliandri merespon penanya, mengenai peraturan atribut, Yuliandri hendak menegaskan poinnya adalah mana fakta yang bernilai hukum, dan mana yang tidak. “Terjadinya perselisihan hasil tidak hanya ditunjang salah hitung semata, tapi faktor apa yang memengaruhi, itu juga tidak kalah penting,” tuturnya. Soal tunanetra dan buta aksara, yang harus dinilai adalah penyelenggara pemilu, terutama KPPS. Manipulasi suara sangat berpotensi terjadi di wilayah ini. Itulah mengapa bukti menjadi sangat penting. Mengenai pergantian jabatan KPUD, ada forum kode etik yang memutusnya, yaitu DKPP. (Yazid/mh)