Dari sekian tahapan Pemilu, data Pemilu selalu menjadi problem. Selain itu, beberapa tahapan yang rawan dianggap terjadinya pelanggaran adalah pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, masa kampanye, masa tenang, serta pemungutan dan penghitungan hasil pemilu. Pernyataan itu diungkap Prof Dr. Aswanto dalam sesi keempat Diklat PHPU Legislatif 2014 untuk Partai Hanura yang mengusung materi Penyelenggaraan, Perselisihan Hasil, dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Legislatif, Rabu (29/1/2014).
Pemateri yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar ini di awal paparannya menjelaskan mengenai pengertian penyelenggara Pemilu. “Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD,” tuturnya. Sayangnya, UU Pemilu sendiri selalu berubah tiap lima tahun. Padahal di Amerika, UU Pemilu dapat bertahan hingga puluhan tahun.
Narasumber mengakui beberapa kali diundang DPR, dan menjelaskan ada 328 Pasal dalam UU Pemilu Nomor 8/2012. “Saya beberapa kali menyampaikan di Panja UU Pemilu, apakah hendak membuat norma Pemilu, atau membuat tandingan KUHP, sebab banyak sekali ketentuan dalam UU Pemilu yang memuat ancaman pidana,” kata Aswanto. Misalnya, memasang alat peraga, satu kelurahan hanya boleh satu calon. “Jika konteksnya di Jakarta tidak masalah, bagaimana kalau di Jayapura yang satu kelurahan mencakup 10 gunung? Apakah dapat diakses oleh masyarakat? Itu sangat tidak rasional,” jelasnya.
UU di Indonesia bisa diartikan macam-macam sesuai dengan standing. Misalnya pasal tentang kampanye di Pasal 1 UU 8/2012, jika dibandingkan dengan Pasal 77 dan 78 UU yang sama, maka dapat diperdebatkan. “Pasal-pasal dibikin memang sengaja untuk diperdebatkan, seolah tidak ada seninya kalo tidak berdebat. Para pengacara kalau dikasih pasal-pasal yang jelas, maka menjadi tidak ada ruang perdebatan,” terang Aswanto.
Ketentuan pidana dalam Pemilu Legislatif 2014 ada 49 pasal. “Saya kira karena Bapak/Ibu di sini sebagian besar caleg, maka UU 8/2012 pasti sudah di luar kepala semua,” selorohnya. Pria yang sering diundang mengisi materi di luar negeri ini memaparkan betapa insting politik para pembuat UU di Senayan cukup hebat untuk menyiasati bunyi UU yang dibuat sendiri. “Misalnya kampanye didefinisikan harus ada visi-misi dan program kerja. Padahal, banyak sekali model kampanye terselubung yang tidak harus menampilkan visi-misi,” Aswanto mencontohkan.
“Jika anda ke Australia, KPU itu permanen lima tahun, tapi mereka bekerja update data per menit. Dalam lima menit, jika ada orang meninggal, langsung update datanya. Di Amerika, signal number identity, jika ada orang meninggal di tengah jalan, tidak perlu kuatir. Semua penduduk sudah disiapkan kuburan. Jika ada yang meninggal, tinggal diambil sidik jarinya. Di Indonesia, saling lempar tanggung jawab antara pemerintah dan KPU,”kata Aswanto.
Menurut Aswanto, jika ingin menang Pemilukada, jangan pernah memusuhi penyelenggara Pemilu. “Saya pernah ditelepon Pak Andi Mattalatta, Dik, tolong bantuannya, ada TPS di Bone, ada adik kandung saya, sepupu saya, keluarga saya, masak nol suara saya, itu tidak mungkin,” katanya. Ternyata yang terjadi adalah kesalahan penulisan angka “nol” dan “satu” oleh KPU. Apalagi, sepanjang pengalaman Pemilu, petahana Pemilu selalu akrab dengan penyelenggara Pemilu.
“Strategi lain, ketika memasang baliho, jangan menampilkan sosok yang elitis dan foto sendirian. Justru yang lebih baik adalah foto dengan latar belakang masyarakat luas, pengajian, santri, dan masyarakat umum lainnya. Rasa kepemilikan baliho jadi tidak si calon sendiri,” katanya.
Mengenai money politic, pasalnya berbunyi “Barang siapa menjanjikan uang atau barang atau benda lain agar dipilih, itu adalah money politic”. Pasal politik uang ini dalam prakteknya susah dibuktikan karena masuk dalam delik materil yang harus ada akibatnya, yaitu dipilihnya seseorang. Cara membuktikannya dengan mencari surat suaranya.
Jenis Pelanggaran
Pelanggaran Pemilu dapat dibagi menjadi empat jenis, yakni pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu (tindak pidana Pemilu), pelanggaran administrasi Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu. Penyelesaian pelanggaran kode etik di DKPP, pelanggaran administrasi oleh Bawaslu dan KPU, dan perselisihan hasil oleh MK. Tindak pidana Pemilu, mekanismenya harus ada yang lapor. “Untuk tindak pidana Pemilu, banyak problem. Kalau ada dugaan pelanggaran, harus ada yang melapor, dan ada tenggang waktu,” kata Aswanto.
Pada sesi tanya jawab, Baharuddin Naris dari Kalbar, menanyakan mengenai kiat-kiat yang diberikan narasumber; diberikan hanya pada Hanura saja atau pada semua partai. Penanya kedua, Soni dari Hanura Sulteng, bertanya mengenai penyelesaian sengketa PHPU dan perkara-perkara terkait Pemilukada. Penanya ketiga bertanya bukti-bukti yang disodorkan ke MK yang dibatasi waktu.
Aswanto menjawab bahwa semua kiat disampaikan pada semua partai, tidak hanya pada Hanura. Sementara mengenai penyelesaian sengketa PHPU dan perkara-perkara pilkada, Aswanto menandaskan sepanjang penyelenggara pemilu fair, kecil kemungkinan banyak sengketa di MK. “Tapi faktanya banyak penyelenggara yang berpihak, ini yang harus diperbaiki” ujarnya. (Yazid/mh)