Meskipun Undang-Undang dibuat oleh 560 anggota DPR, kalau melanggar hak konstitusional warga negara, dapat dibatalkan. Jadi, saat ini amat dirasakan betapa berharganya menjadi warga negara.
Dr. I Dewa Gede Palguna menyatakan itu dalam sesi ketiga Diklat Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 untuk Partai Hanura yang menyuguhkan materi Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Rabu (29/1/2014). Menurut Palguna, kesulitan terbesar menyampaikan materi ini adalah mestinya disampaikan satu semester, harus disampaikan dalam waktu setengah jam.
Membincang Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia berarti membicarakan sistem ketatanegaraan yang kita anut. “Apa impian founding fathers tentang sistem ketatanegaraan?” tanya Palguna. Pembukaan UUD 1945 adalah perintah Proklamasi. Jika mengingat teks proklamasi, pernyataan yang pertama, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Pernyataan itu sepertinya biasa, namun sebenarnya punya makna hukum dan politis yang kuat. “Artinya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah ada sejak sebelum pernyataan itu dibacakan,” kata Palguna.
Bahasa Indonesia saat itu bukan lagi semata lingua franca (bahasa penghubung), tetapi alat persatuan bangsa. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama adalah pernyataan umum, alinea kedua adalah rasa syukur. Nah, di bagian akhir proklamasi dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia” adalah cerminan bahwa negara yang hendak diwujudkan adalah negara kesatuan. “Jadi berbeda dengan deklarasi kemerdekaan Amerika yang cukup jelas menyatakan sebagai negara konfederasi.
Pembukaan UUD 1945 bersifat programatik. Setiap negara pasti punya Konstitusi, baik tertulis atau tidak. Jika tertulis, lazim disebut UUD 1945. “Namun tidak semua UUD ada Pembukaan. Ada yang pembukaan hanya bersifat deklaratif, tapi ada yang Pembukaan secara teoritik bersifat programatik; ada arahan dan visi bangsa di dalamnya. Kita termasuk yang terakhir ini,” terang Palguna.
Pasal 1 Ayat (2) Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal ini berbunyi demikian karena bagian dari amanat UU. Bahasa hukumnya, negara hukum yang demokratis (constitutional democratic state). Yang diinginkan founding father adalah negara hukum yang demokratis. Ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ciri-cirinya adalah konstitusionalisme. Intinya, prinsip supremasi konstitusi. “Seluruh praktek penyelenggaraan kehidupan bernegara harus berdasar dan tidak bertentangan dengan Konstitusi,” tegas Palguna.
Pertanyaan besarnya, bagaimana cara mewujudkan hal demikian dalam praktik? Dari sinilah muncul kebutuhan sebuah lembaga yang mengawal gagasan tersebut, yang akhirnya melahirkan lembaga Mahkamah Konstitusi. Jadi tujuannya mengawal cita-cita para pendiri Republik Indonesia. “Fungsinya constitutional review, yakni menjaga berfungsinya proses demokrasi, saling mengawasi dan mengimbangi dalam cabang-cabang kekuasaan negara. Fungsi kedua, melindungi hak-hak dan kehidupan pribadi warga negara. Secara akademik disebut tugas dan tanggung jawab MK,” kata Palguna.
Ada dua model untuk menjaga hak warga negara, yakni constitutional model, dan parliamentary model. Parlemen Inggris memiliki kekuasaan besar karena menganut parliamentary model (Supremasi Parlemen). Sementara untuk constitutional model (Supremasi Konstitusi), saat ini telah dianut kurang lebih oleh 90 negara di dunia.
Indonesia menganut constitutional model akibat pengalaman sejarah Perang Dunia II. Awalnya dari seorang sejarawan Hans Kelsen, yang sebenarnya sarjana matematika, adalah perancang Konstitusi Austria. Dia memperkenalkan Konstitusi pada 1920. “Sebab kalau menerapkan Supremasi Parlemen itu berbahaya sekali, tidak ada yang mengawasi. Karena itu, perlu ada pengawas, dan satu-satunya pengawas adalah Konstitusi itu sendiri. Tujuannya untuk check and balances and protecting constitutional rights of citizen,” jelas Palguna.
Dalam diklat ini, sebagai mantan Hakim Konstitusi, I Dewa Palguna banyak mengupas sejarah kasus Marbury vs Madison yang menjadi cikal bakal lahirnya lembaga penguji UU. Namanya di berbagai negara dapat berbeda-beda, mulai Mahkamah, Tribunal, hingga Dewan Konstitusi.
Dalam prakteknya, Palguna mencontohkan ada satu kasus yang memiliki dua payung hukum; satu oleh hukum yang lebih tinggi, yang lain oleh hukum yang lebih rendah. Secara konstitusi, maka hukum yang lebih rendah harus dinyatakan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Sesi tanya jawab yang diberikan moderator, disambut Jamal Nasir, pengurus DPP Hanura, yang menanyakan MKRI sebagai lembaga fenomenal, baik citra positif di awal pembentukannya, hingga citra negatif akhir-akhir ini. Bagaimana agar Konstitusi dapat benar-benar ditegakkan, berkeadilan, dan transparan?” tanyanya. Penanya kedua, Soni Muhammad Santoso dari Hanura Sulteng, menanyakan demokrasi yang memberikan peluang korupsi di segala lini saat ini. Penanya ketiga, Khoirul Anam dari Papua, bertanya tentang kemungkinan referendum jika Otsus di Papua tidak dijalankan dengan baik. Penanya keempat, Syuhada Endrayono dari Jatim, bertanya tentang dasar dipilihnya sembilan Hakim Konstitusi, dan prakteknya di negara lain. Penanya kelima, Sulaiman Opir dari Hanura Maluku, bertanya perkembangan MK sejak dibentuk hingga saat ini; apakah hakim nakal bermain sendiri atau bersifat komunal, serta munculnya kasus perusakan di Gedung MK.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, Palguna menjawab kunci menjadikan MK sebagai benteng terakhir pengawal keadilan adalah pada proses rekrutmennya. “Saya pernah diundang Konrad Adenauer Stiftung (KAS), ada kasus hakim yang telah terpilih di Jerman, dipilih oleh Parlemen Jerman, yang menulis bahwa penyiksaan dalam batas tertentu dapat ditolerir. Sontak pernyataan itu menggegerkan seluruh Jerman, dan masyarakat protes pada Parlemen, bukan pada si hakim,” urai Palguna. Menurut Palguna, rekrutmen hakim menguji integritas dengan sangat ketat. Ia menambahkan perlunya Panel Ahli secara khusus untuk merekrut Hakim Konstitusi di Indonesia.
Mengenai sengketa Pemilu di MK, sebenarnya itu putusan paling gampang bagi MK. “Yang menyebabkan susah adalah karena perkaranya terlalu banyak. Jangka waktunya dibatasi. Persoalannya, sering ada tindak pidana Pemilu yang bukan wewenang MK. Karena itu dulu saya pernah mengusulkan ada pengadilan khusus untuk mengadili tindak pidana Pemilu,” jelas Palguna.
Untuk pertanyaan Soni dari Sulteng, Palguna menjawab problemnya adalah kemampuan menerjemahkan UUD 1945. Oleh Konstitusi, dibuat aturan yang memungkinkan capres-cawapres dapat diajukan sebelum Pemilu. UUD 1945 memaksa partai berkoalisi sejak awal sehingga dari awal sudah ada komitmen. Terhadap pertanyaan Khoirul Anam, negara mengakui keberagaman daerah. “Itu amat tergantung dari adu argumentasi dan proses pembuktian di MK. Menurut saya, sekhusus apapun aturan yang dibuat dalam negara kesatuan (Unitary State), tidak boleh membuat aturan yang mencerminkan adanya negara dalam negara,” jawabnya. Mengenai Perdasus, jika terjadi pertentangan, diajukan ke MA, bukan MK.
Terhadap pertanyaan sembilan hakim, dijawab itu tergantung variasi dan pertimbangan masing-masing. Pertimbangan MKRI adalah seperti Korea Selatan, yakni pertimbangan checks and balances. Jadi seleksinya harus benar-benar ketat. (Yazid/mh)