Sesi kedua Diklat PHPU Legislatif 2014 diisi oleh Dr. M. Ali Safaat dengan materi Partai Politik, Demokrasi, dan Pemilihan Umum yang dimoderatori oleh Johan Yustisianto. Ali Safaat di awal penyampaian materinya menyatakan, peserta diklat sebagai pengurus parpol sebenarnya jauh lebih mendalami makna parpol dan Pemilu.
Parpol, Demokrasi, dan Pemilu ada tiga konsepsi yang terkait erat. Ketiganya tidak bisa dipisahkan, walaupun munculnya dalam rentang waktu yang berbeda. Demokrasi, dalam pengertian yang paling mudah, adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. “Rakyat dipandang sebagai yang tertinggi dalam suatu negara karena tidak ada seorang pun yang boleh memerintah orang lain karena derajatnya sama, kecuali atas persetujuan orang itu sendiri,” kata Safaat.
Munculnya parpol sudah ada sebelum kemerdekaan. Bahkan, saat itu parpol menjadi organisasi pergerakan perjuangan kemerdekaan. “Jadi mencapai kemerdekaan tidak bisa dengan perjuangan bersenjata, maka dibentuklah parpol. Seorang pejuang adalah anggota parpol, forumnya di parpol. Sampai masa kemerdekaan, parpol masih menjadi idola. Tapi setelah Pemilu 1955, parpol mengalami penurunan karena membuahkan perpecahan pemerintahan,” urai Safaat.
Bahkan, pria kelahiran Lamongan ini menambahkan, melihat kondisi parpol sebagai sumber perpecahan, Bung Karno pernah berpidato akan mengubur parpol. Namun, sejak 1999, parpol semakin cantik. Banyak pejabat berlomba mendirikan parpol. “Ada sekitar 150 parpol yang mendaftar, walaupun tidak semua lolos sebagai parpol peserta Pemilu,” tuturnya. Sayangnya, pada 2013 kemarin, parpol tidak semakin cantik. Ibarat perempuan, parpol makin tua, reot, dan tidak menarik. Ini terjadi karena banyak musibah yang diderita parpol, baik musibah kasus hukum hingga persepsi terhadap kader parpol.
Meski demikian, Safaat selalu mengatakan sejelek apapun persepsi pada parpol, masyarakat tidak bisa hidup dan bernegara tanpa parpol. “Jika anda menjadi anggota DPR dan DPRD, anda tidak akan bisa memperjuangkan aspirasi anda sendiri tanpa melibatkan diri dengan anggota parlemen yang lain,” tegasnya.
Di negara-negara modern, pembentukan parpol secara faksional diawali dari lembaga parpol. Di Inggris, dulu tidak ada parpol, dan sampai sekarang memilih individu (meski di bawah naungan parpol). Akhirnya di House of Common Inggris, terbentuk faksionalisasi. Pertama, berdasar paham ekonomi. Kedua, berdasar revolusi industri. Muncul lagi faksi keagamaan ortodoks, protestan, dan seterusnya. “Itu semua keluar menjadi parpol sekarang,” ujar Safaat. Kesimpulannya, kita tidak bisa hidup tanpa parpol sepanjang hidup di alam demokrasi.
Jadi, orang yang berani masuk ke parpol di situasi sekarang, termasuk orang pemberani. Menurut Plato, penyelenggara pemerintahan yang paling baik adalah oleh orang-orang yang paling mengerti apa arti kebaikan dan kebajikan, yang mana masyarakat biasa tidak semua memahaminya.
Parpol dalam Konstitusi
Dari 132 Konstitusi, 72 Konstitusi menyebut keberadaan parpol. Pertama, menyebut parpol sebagai bagian dari pengaturan kebebasan berserikat (11 negara). Kedua, mengatur parpol dalam pasal tersendiri namun secara singkat (25 negara). Ketiga, mengatur lebih mendetail tentang parpol. Keempat, menegaskan sistem satu partai (Kuba, Myanmar, Syria, dan Vietnam).
Dalam UUD 1945, parpol disebut dalam Pasal 22E Ayat (3): Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal lain yang menyebut adalah Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 8 Ayat (3).
Tujuan parpol sangat mulia, yakni meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat. “Jadi bukan hanya duduk sebagai anggota DPR atau memeroleh sebanyak-banyaknya kursi, parpol bisa berjuang di media dan advokasi masyarakat,” kata Safaat.
Sesi tanya jawab disambut oleh Budiarta, peserta dari NTB yang bertanya mengenai demokrasi saat ini yang tanpa koridor. Sejarah Indonesia sendiri pernah mengalami Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila. Penanya kedua menanyakan tentang sistem bernegara yang lebih baik. Penanya ketiga oleh Basri Nawir dari Sulbar, bertanya tentang sistem baru untuk Pemilu berkualitas terhadap model masyarakat sekarang. Penanya keempat dari Papua Barat, melihat kondisi demokrasi yang absurd dan mencemaskan kondisi Pemilu di TPS serta banyaknya PPS yang melanggar aturan. Penanya kelima, Afifuddin dari DPP Hanura, merisaukan popularitas caleg artis yang tidak kompeten serta parpol yang mengejar keterpilihannya. Afifudin menanyakan tentang model Pemilukada yang amat transaksional.
Menjawab pertanyaan tersebut, Safaat menyatakan di negara demokrasi manapun, harus dibuka peluang membuka parpol baru. Walau menginginkan sistem multipartai sederhana, tidak bisa juga membatasi hanya 12 parpol seperti sekarang. “Ada instrumen aturan hukum pembentukan badan hukum parpol, verifikasi administrasi dan faktual, electoral threshold, parliamentary threshold, dll sebagai instrumen yang dapat digunakan,” katanya. Dari sisi perkembangan, parpol harus semakin bersifat nasional, dan keberadaan parpol lokal tidak bisa dipisahkan dari pemberian otonomi khusus. Ini hanya diberikan pada satu daerah yang memang memiliki kekhususan tertentu. Daerah lain masih mungkin diberi otonomi khusus. Misalkan di Malaysia, ada parpol lokal di Sabah. Di Kanda, ada parpol lokal, Jerman ada parpol lokal.
Tentang sistem proporsional terbuka, itu ada pilihan. “Apakah proporsional tertutup atau terbuka, itu pilihan. Yang jelas pragmatisme politik akan mengalami kerugian. Menjadi dosen dapat dinilai dari cara ngomong dan menulis, tapi anggota parlemen dapat dinilai dari aksi nyatanya,” jawab Safaat.
Mengenai Pemilu 2014 yang akan ditentukan pemilik modal, Safaat tidak sependapat. “Itu belum tentu, soal artis kompeten atau tidak, juga tergantung siapa yang menentukan. Semua dapat diatur dalam UU. Di sisi lain, masyarakat juga tidak begitu saja bisa dipengaruhi popularitas dan masyarakat sendiri sudah cukup kritis. Semua bergantung di internal parpolnya,” katanya. (Yazid/mh)