Sesi pertama Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 untuk Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) disampaikan oleh Gregorius Seto Harianto, Selasa (28/1/2014) pukul 19.00 WIB. Seto menyampaikan materi Pancasila dan Pemilihan Umum.
Di awal materinya, sebagai mantan Manggala P-4, Seto menegaskan Pancasila memiliki pikiran pokok yang memuat konsep-konsep yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai. Dia mencontohkan pengertian “konsep” seperti halnya dalam “konsep perkawinan”, untuk membedakan dengan pengertian “prinsip perkawinan”. “Konsep perkawinan adalah legalisasi hubungan pria dan wanita secara universal. Ketika menjadi prinsip perkawinan Indonesia, maka perkawinan itu harus berdasarkan agama yang dianut,” tuturnya. Dalam Pancasila, konsep humanitas misalnya, harus menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa dibangun atas dasar Pancasila berarti harus berdasar kekeluargaan. Begitupula bunyi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam filosofi di masa Bung Karno, sebenarnya dimaksudkan bukan semata-mata hubungan antara manusia dengan Tuhan, namun juga hubungan antara manusia dengan manusia yang lain.
Pancasila sendiri telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Karena itu, seluruh isi Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah kecuali oleh pembuatnya. Begitu pula segala jenis peraturan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Untuk menjaga agar peraturan di bawahnya tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU), maka dibentuklah Mahkamah Agung. Kemudian untuk menjaga agar UU tidak bertentangan dengan UUD 1945, dibentuklah Mahkamah Konstitusi.
Saat ini ada yang mengatakan sistem presidensial rasa parlementer, saya berpendapat tidak ada satupun pasal yang menunjukkan hal itu. “Kapolri diangkat dengan persetujuan DPR, Panglima TNI diangkat dengan persetujuan DPR. Yang saya mau katakan, tidak benar jika dibilang sistem presidensial rasa parlementer itu tidak betul. Jika Presiden kuat, sebetulnya DPR tidak ada apa-apanya,” tandas Seto.
Memang dalam praktiknya, ada juga DPR melakukan praktik tidak benar. Misalkan DPR berhak mengatur urusan satuan proyek-proyek tertentu. Bahkan, ada satu lembaga memegang kewenangan, yang mestinya dipegang lembaga yang lain. Ternyata itu ditransaksikan oleh oknum anggota DPR. “Itu praktek yang tidak benar, dan mestinya dapat digugat di Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara,” kata Seto.
Ada sebuah lembaga di Bandung yang menyurvei tentang persepsi masyarakat tentang partai politik. Hasil survei itu hanya dua: pertama, partai politik itu buruk, kedua, partai politik itu buruk sekali. Nah, partai politik seperti Hanura memiliki tanggung jawab agar persepsi tersebut dapat dikikis.
Seto juga menyebutkan, Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan gubernur dan walikota dipilih secara demokratis. Pengertian demokratis itu dipilih secara lokal. Awalnya sengketa Pemilu ditangani Mahkamah Agung (MA), namun karena MA lambat menangani, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, kemudian dipindahkan ke Mahkamah Konstitusi.
Menekankan Kekeluargaan
Demokrasi Pancasila menekankan pada kekeluargaan, bukan suara terbanyak. Pasal 22E menyatakan bahwa peserta Pemilu adalah parpol, bukan perorangan. “Saya hanya bisa menghimbau pada Hanura agar menggugat ke Mahkamah Konstitusi bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Suara terbanyak itu distrik, kita kan proporsional. Rakyat mencoblos bisa dua macam: mencoblos tanda gambar, dan mencoblos orang. Rakyat hanya kenal artis-artis. Penyelenggara Pemilu hanya kerja lima tahun, jadi tanpa pengawasan, mentalitas penyelenggara dan peserta bisa rusak akibat suara terbanyak. Ini yang harus diperbaiki,” urai Seto.
Kesimpulannya, Pemilu ke depan harus ada perbaikan dan Hanura harus turut berperan. Sebab, masyarakat sendiri tidak suka dengan partai. Kiprah partai belum terlalu positif di mata masyarakat. Bulan lalu, ada yang survei, hasilnya tetap sama, partai politik tetap buruk di mata masyarakat. Kita terjebak budaya liberal yang harus ditata, terutama kebebasan media. “Menatanya oleh kesadaran sendiri. Media sering memaki-maki orang lain, padahal bukan itu Budaya Pancasila,” tutur Seto.
Dalam sesi tanya jawab, Ari Gudadi dari Provinsi Kepulauan Riau menanyakan tentang cara-cara melakukan internalisasi Pancasila, fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan nilai-nilainya. Penanya kedua, Hamadani dari Hanura Sulbar, menanyakan rumusan Pancasila dalam Konstitusi RIS, Pancasila 1950, dan Dekrit Presiden, serta menanyakan implementasi Pancasila. Dulu ditetapkan melalui Tap MPR, sekarang mengapa implementasi lemah? Penanya ketiga, Syuhada Endrayono dari Hanura Jatim, menanyakan Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua tokoh yang menentang campurnya agama dan negara, tapi dalam implementasinya sila Ketuhanan menjadi sila pertama. Penanya keempat, Mochtar Marabessy dari Maluku, menanyakan konsep Pancasila sebagai semangat kekeluargaan yang dalam demokrasi dijabarkan dengan musyawarah, yang ternyata memiliki kelemahan. Penanya menanyakan model musyawarah agar tidak gagal diterapkan.
Secara berurutan dan komprehensif, Seto Harianto menjawab bahwa diklat ini bertujuan untuk revitalisasi Pancasila supaya tidak dilupakan dan tergilas liberalisasi yang berujung pada survival of the fittest (siapa yang kuat, dia yang lemah). “Yang penting, apapun yang diambil, pikirkan dulu kebijakan yang diambil adalah kepentingan rakyat atau bukan, kepentingan kelompok dan partai atau bukan. Pemilu Presiden serentak, akan terjadi koalisi di awal, bukan dagang sapi,” jawab Seto.
Mengenai pertanyaan fungsi Pancasila sebagai dasar negara, perwujudannya dalam pasal-pasal. Pancasila sebagai ideologi nasional, perwujudannya pernah dimiliki, yang akhirnya tergusur oleh pendapat yang tergesa-gesa, seolah-olah produk Orba jelek, padahal banyak yang bagus, seperti Wawasan Nusantara. “Itu adalah implementasi Pancasila sebagai ideologi nasional. Itu menjadi tolok ukur dalam pemberitaan, dan juga penilaian terhadap kinerja pemerintah,” terang Seto.
Pancasila dipikirkan secara sungguh-sungguh di awal BPUPKI. Namun karena kabinetnya liberal, melaksanakan Pemilu pun tidak bisa. Baru di masa Burhanuddin Harahap, berhasil menyelenggarakan Pemilu 1955. Mengenai Dekrit Presiden, ada istilah Hukum Darurat. “Itu subjektif, Bung Karno itu subjektif, tergantung siapa yang mendukung,” kata Seto. Dekrit itu tidak ilegal, tapi harus dapat dukungan. Dulu P-4 dicabut karena saat itu merupakan alat penguasa, namun Pancasila tidak dicabut. Maka ketika reformasi bergerak ke arah yang terlalu jauh, maka masyarakat gelisah.
Pada pertemuan rutin Lembaga Negara tanggal 24 April 2011, dibicarakan mengenai Revitalisasi Pancasila. MK membangun Pusdik Pancasila dan Konstitusi, MPR dengan Empat Pilar-nya, Menkopolkam merancang Pemantapan Wawasan Kebangsaan, gagasannya membentuk Badan Pemantapan Kebangsaan, seperti BP7 dulu. Intinya, masyarakat dan negara sadar betul meninggalkan Pancasila dapat menimbulkan perpecahan.
Mengenai pendapat masyarakat bahwa parpol buruk, justru partai harus mawas diri. “Negara ini tidak mungkin dibangun tanpa parpol, jadi tinggal buktikan negara tidak mungkin dibangun tanpa Hanura,” seloroh Seto.
Selanjutnya, soal sekularisasi, berketuhanan di Pancasila bukan dimaksudkan sebagai agama, tapi sebagai wujud keyakinan bangsa bahwa kita adalah ciptaan Tuhan, sehingga harus taat dan mengabdi. “Hubungan manusia dengan Tuhan itu urusan pribadi, tapi hubungan manusia dengan manusia itu yang urusan bersama,” jelas Seto.
Pertanyaan tentang musyawarah dijawab Seto bahwa musyawarah perlu untuk hal-hal mendasar, tidak dipukul rata untuk semua tempat. “Ketika sudah pada tahapan harus mengambil putusan, tidak diharamkan juga untuk pemungutan suara,” jelas Seto. (Yazid/mh)