Notaris sebagai profesi yang mulia, sudah seharusnya mampu menjaga kehormatan profesinya sendiri. Untuk itu, notaris berkewajiban menjaga rahasia atas apa yang disampaikan oleh klien terhadapnya. Atas kepercayaan itulah notaris juga tidak seharusnya melegalkan apa yang seharusnya ilegal, meskipun ia tidak berkewajiban untuk menyelidiki kebenaran atas apa yang diinformasikan oleh kliennya.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dalam acara seminar nasional yang bertajuk “Perlindungan Notaris Pasca Putusan Konstitusi RI No. 49/PUU-X/2012”, di Fakultas Hukum Universitas Mataram, Lombok, Sabtu (25/01) pagi.
Hamdan juga mengatakan, sebagaimana sumpah yang diucapkan seorang notaris sebelum menjalankan jabatannya, notaris berjanji akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal itu menjadi salah satu kewajiban notaris sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Jabatan Notaris, yang apabila dilanggar mengakibatkan notaris tersebut mendapat hukuman berupa teguran lisan sampai dengan yang terberat, yakni pemberhentian dengan tidak hormat .
“Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, salinan akta ataupun kutipan akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang mempunyai hak. Kecuali ditentukan lain oleh perundang-undangan menurut Pasal 54 UU Jabatan Notaris. Tidak hanya itu, notaris yang tidak menepati janjinya tersebut juga dapat dikenakan sangsi pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 ayat (1) KUHP,” imbuhnya kepada para notaris se-NTB.
Kewajiban untuk merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya tidak berlaku dalam hal terkait perbuatan melanggar hukum. Tidak hanya itu, lanjut Hamdan, pembatasan atas kewajiban tersebut tidak kita temukan dalam UU Jabatan Notaris, akan tetapi di atur dalam ranah hukum lain terkait dengan proses peradilan pidana atau perdata, yakni misalkan diatur dalam UU No. 8/1981 tentang KUHAP atau diatur dalam KUHP.
“Mungkin sekarang putusan ini sedang menjadi hangat di kalangan notaris, dimana kita ketahui putusan yang menyatakan frasa “ dengan persetujuan majelis pengawas daerah “ dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” terang Hamdan.
Lebih lanjut Hamdan menambahkan, bahwa untuk memahami terkait putusan MK tersebut secara komprehensif, harus dimengerti mengenai prinsip yang dilihat dalam putusan tersebut. Pertama kewajiban menjaga rahasia pada profesi hukum. Dimana secara luas prinsip tersebut dibebankan kepada seseorang yang mengetahui suatu informasi rahasia, dikarenakan status atau jabatan atau profesi atau keahlian tertentu untuk tidak mengungkap informasi. Dan yang kedua yakni prinsip persamaan kedudukan dimuka hukum dalam pemerintahan dan independensi peradilan.
Hamdan mengakhiri pemaparannya dengan menyampaikan, akibat putusan MK, notaris dapat mudah dipanggil oleh penyidik dan dengan mudah pula dapat mintai akta atau dokumen yang seharusnya disimpan dan menjadi rahasia jabatan. “Ikatan notaris dapat membuat kesepakatan dengan kepolisian agar tidak dengan mudah melakukan tindak kepolisian atas seorang notaris, mengingat jabatan notaris yang harus menyimpan kerahasiaan informasi,” terang Hamdan.
Dalam acara ini dihadiri oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Muh. Amin, Sekretaris Daerah NTB M. Nuh, Rektor Universitas Mataram Sunarfi, Ketua KPU Provinsi Nusa Tenggara Barat, Notaris se-NTB, dan para mahasiswa Universitas Mataram. (Hamdi/mh)