Pengujian sejumlah pasal mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis (23/01/2014), dengan agenda mendengarkan keterangan Payaman Simanjuntak dan Atje, dua ahli bidang ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemohon.
Kepada majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Payaman Simanjutak yang merupakan pakar manajemen sumber daya manusia (SDM) mengatakan isi UU Ketenagakerjaan tidak konsisten, sehingga sering diajukan ke MK untuk diuji. Selain itu, komitmen dari pelaku UU Ketenagakerjaan, baik pengusaha, pekerja dan pemerintah dalam melaksanakan isi UU tersebut masih kurang sehingga banyak mengakibatkan sengketa hubungan industrial. Lebih lanjut terhadap persoalan kontrak perjanjian tenaga kerja sering bermasalah. Payaman berpendapat, ketentuan batal “demi hukum” perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat yang diatur dalam UU 13 tahun 2003 itu harus ada keputusan dari pengadilan.
Sebagaimana antara lain menurut ketentuan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diujikan oleh APINDO, menentukan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau dikenal PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka “demi hukum” menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau PKWTT. Ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) mengatur mengenai empat syarat pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, maksimal waktu PKWT dan perpanjangan, tenggang waktu pemberitahuan perpanjangan perjanjian, dan aturan pembaruan PKW.
Menurut Payaman, masalah persyaratan yang tidak dipenuhi dalam kontrak perjanjian kerja itu memerlukan pembuktian benar salahnya, sehingga dirinya menilai persoalan itu membutuhkan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Atje, pakar hukum ketenagakerjaan, yang menyatakan frasa “demi hukum” dalam sejumlah pasal yang dimohonkan oleh APINDO untuk diuji tidak mencerminkan adanya keseimbangan. Menurut Atje, adanya frasa “demi hukum” itu pengusaha tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri di pengadilan. Kepada majelis hakim konstitusi, dirinya meminta agar frasa “demi hukum” yang tertulis dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat hingga ada putusan dari pengadilan.
Sebagaimana diketahui, permohonan perkara teregistrasi nomor 96/PUU-XI/2013 ini, APINDO memohonkan MK menyatakan Pasal 59 ayat (7) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) UU tersebut tidak dimaknai setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari badan yang melaksanakan fungsi berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri. Pemohon juga meminta hal yang sama terhadap Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU tersebut.
Pemohon mengganggap jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu yang dipersyaratkan dalam PKWT tidak diberikan penafsiran yang pasti oleh pembentuk undang-undang, sehingga penerapannya menjadi multi tafsir baik pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh. Menurut APINDO, putusan MK sebelumnya menyatakan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan bukanlah persoalan konstitusioanalitas, tetapi persoalan implementasi. Namun, kenyataannya dalam implementasi, ketentuan tersebut adalah persoalan konstitusionalitas. Pasal 65 ayat (8) juga memberikan ketidakjelasan saat implementasi karena adanya penafsiran berbeda-beda, antara lain mengenai jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan dan lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma tersebut. Begitupun mengenai implementasi dari Pasal 66 ayat (4) dianggap bersifat multi tafsir.
Sidang berikutnya akan dilaksanakan untuk mendengarkan tanggapan Pihak Terkait dari APINDO pada hari Kamis, 6 Februari 2014. (Ilham/mh)