Jantung dan denyut nadi kekuasaan kehakiman di Indonesia dahulu berada di bawah kekuasaan Presiden. Hal tersebut diungkap pakar hukum tata negara, Andi Irmanputra Sidin selaku narasumber acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kamis (23/1) malam di Cisarua.
“Kekuasaan kehakiman kalau di bawah kekuasaan Presiden, maka kita tidak akan pernah memiliki hakim-hakim yang bisa imparsial, bisa memproduksi keadilan buat kita secara sama,” tambah Irman yang menyajikan materi “Independensi dan Imparsialitas Lembaga Peradilan”.
Namun sekarang, jelas Irman, institusi yang merdeka adalah institusi yang bebas dari pengaruh kekuasaan, tidak boleh di bawah kekuasaan Presiden, tidak boleh dikooptasi oleh kekuasaan apa pun dan manapun.“Kemudian muncul dua kekuasaan kehakiman, namanya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Tapi ternyata ada ancaman baru bagi kekuasaan kehakiman yang membuat kekuasaan kehakiman sulit menjadi independen yaitu opini publik,” imbuh Irman.
“Tadi siang saya baru hadiri sidang MK mengenai gugatan tentang Pemilu serentak. Sebelum gugatan itu dibacakan dan diputuskan, seminggu terakhir opini publik semuanya ‘menekan MK’, semua bersuara. Media pun bicara, mulai dari tajuk rencana dan sebagainya. Kalau begini caranya, maka ini bisa juga mengganggu independensi kekuasaan kehakiman. Kalau dulu kekuasaan kehakiman bisa dikooptasi oleh kekuasaan Presiden, sekarang kekuasaan kehakiman bisa dikooptasi oleh arus informasi atau opini publik,” papar Irman.
Lebih lanjut Irman menjelaskan, independensi kekuasaan kehakiman disamping bersifat fungsional, juga bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap. Oleh karena itu independensi peradilan harus dijaga dari segala tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun.“Independensi peradilan merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan,” ucap Irman.
Ditambahkan Irman, independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, bebas dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu.
“Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan putusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugas,” tandas Irman. (Nano Tresna Arfana/mh)