Menteri tidak harus mundur untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD. Demikian inti putusan MK yang menolak permohonan FX. Arief Poyuono. “Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, dalam sidang putusan Pengujian Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam perkara nomor 57/PUU-XI/2013, di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (23/01) sore.
Materi UU Pemilu Legislatif yang diujikan, yaitu Pasal 51 ayat (1) huruf k yang menyatakan, “Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan : k. mengundurkan diri sebagai Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas dan Karyawan pada Badan Usaha Milik Negara dan/ atau Badan Usaha Milik Daerah atau Badan lain yang keuangannya bersumber pada keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.”
Dalam pendapatnya, Mahkamah sesuai putusan-putusan sebelumnya, baik kepala daerah dan wakil kepala daerah, PNS, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan jabatan yang perlu disyaratkan pengunduran dirinya jika hendak ikut serta sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD, dengan alasan yang masing-masing berbeda.
“Namun intinya adalah jabatan tersebut bersinggungan dengan kewenangan yang diemban, yang potensial disalahgunakan, sehingga mengurangi nilai fairness dalam pemilihan umum yang hendak diikuti, serta potensial pula mengganggu kinerja jabatannya jika yang bersangkutan tidak mengundurkan diri,” terang Mahkamah.
Mengenai keharusan menteri untuk mengundurkan diri, Mahkamah berpendapat bahwa Undang-Undang memberikan pembatasan persyaratan bagi warga negara yang mengemban jabatan tertentu yang hendak mencalonkan diri untuk dipilih dalam Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, masing-masing pembatasan oleh Undang-Undang memiliki legal reasoning tersendiri. “Menurut Mahkamah pembatasan demikian merupakan pilihan kebijakan pembentuk Undang-Undang yang terbuka (opened legal policy) yang tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Mahkamah.
Jabatan menteri adalah jabatan politik yang eksistensinya sangat bergantung pada Presiden. Sepanjang Presiden memerlukan menteri yang bersangkutan dapat dipertahankan atau sebaliknya. Berbeda dengan jabatan lain seperti bupati yang dipilih secara demokratis, eksistensinya bergantung pada yang bersangkutan. Berbeda pula dengan pejabat BUMN yang terikat pada aturan disiplin di lingkungan BUMN dan pemegang saham.
Menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon bahwa menteri yang mencalonkan diri dalam Pemilu potensial akan menyalahgunakan kekuasaan, dan memanfaatkan fasilitas Pemerintah untuk kepentingan pencalonannya, hal tersebut memang bukan tidak mungkin terjadi. Namun, menurut Mahkamah, ada mekanisme kontrol dari Presiden, DPR, maupun oleh masyarakat.
“Betapapun besarnya kewenangan menteri, namun segala kebijakan yang dibuat menteri, tidak terlepas dari kontrol Presiden, karena menteri adalah pembantu Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 17 UUD 1945,” terang Mahkamah.
Ne Bis In Idem
Sedangkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang diajukan oleh Arif Sahudi dalam perkara nomor 59/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat diterima, Kamis (23/1/2014). Arif Sahudi juga memersoalkan materi yang sama mengenai tidak adanya persyaratan bagi menteri harus mengundurkan diri ketika maju sebagai bakal calon legislatif (caleg). Menurutnya, kewajiban sebagai seorang menteri tidak dapat melayani masyarakat Indonesia dengan maksimal karena kesibukan dan berbagai kegiatannya yang berhubunngan sebagai caleg.
Menurut Mahkamah, permohonan yang diajukan oleh Arif Sahudi memiliki substansi yang sama dengan Putusan Nomor 57/PUU-XI/2013 yang dibacakan beberapa menit sebelumnya. “Menurut Mahkamah permohonan a quo harus dinyatakan ne bis in idem,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi membacakan pendapat Mahkamah. (Nur Rosihin Ana/Panji Erawan/mh)