Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup, pada awalnya memang digagas oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945. Namun, gagasan awal itu harus dilihat sebagai keutuhan dengan pendapat-pendapat yang berkembang dari para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Mohammad Yamin, Soepomo, Hatta, dan pendapat-pendapat lain memberikan sumbangan yang luar biasa dalam rangka mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara.
“Saat Bung Karno melontarkan gagasan tentang Pancasila, sila yang kelima, beliau sebutkan sebagai Ketuhanan yang berkebudayaan. Maksudnya, Ketuhanan sebagai sila dari Pancasila tidak dimaksudkan sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Tetapi lebih ditekankan pada sifat hablun minannas-nya, hubungan manusia dengan manusia, masyarakat Indonesia sebagai mahluk ciptaan Tuhan,” urai narasumber Seto Harianto dalam acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Kamis (23/1) siang di Cisarua.
Seto menjelaskan, Bung Karno membentuk Panitia Sembilan pada masa reses di luar tugas yang diberikan, akhirnya berhasil menyusun naskah rancangan pembukaan UUD 1945, yang oleh Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta. “Dalam naskah Piagam Jakarta itu dituliskan ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut kemanusiaan yang adil dan beradab’. Tampak sekali bagaimana pikiran Bung Karno bahwa Ketuhanan menurut kemanusiaan yang adil dan beradab,” papar Seto.
“Rumusan tersebut kemudian disempurnakan pada 18 Agustus 1945. Bung Hatta menyempurnakannya menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ pada sila pertama Pancasila. Dengan demikian yang kita kenal sekarang, sila-sila Pancasila berbunyi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, ‘Persatuan Indonesia’ dan seterusnya,” urai Seto kepada hadirin.
Lebih lanjut Seto menerangkan, Pemilu adalah perwujudan kedaulatan rakyat yang menerapkan prinsip one man one vote. Namun dalam kerangka Pancasila, prinsip tersebut diselaraskan dengan cita negara kekeluargaan sehingga tidak mengarah pada seleksi alam maupun survival of the fittest.
“Oleh karena itu, Pemilu bukan tujuan bernegara tetapi sarana perwujudan kedaulatan rakyat dalam rangka terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan merata,” imbuh Seto.
Selain itu, kata Seto, tolok ukur keberhasilan Pemilu adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat yang makin adil dan merata. Guna mencapai keberhasilan tersebut, Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
“Kecurangan atau bahkan penyimpangan dalam penyelenggaraan Pemilu pada semua tahapannya akan menurunkan kesejahteraan rakyat dan berarti tujuan Pemilu tidak tercapai,” tegas Seto Harianto. (Nano Tresna Arfana/mh)