Dari berbagai tahapan Pemilu yang ada, sebagian sudah diselesaikan dengan baik, dengan segala macam catatannya. Sebagian lagi akan dihadapi ke depan.
“Puncak dari semua itu, akan ada sengketa antara parpol dengan parpol lain, setelah itu akan ada sengketa antara individu dalam parpol bersangkutan,” ujar pakar hukum tata negara, Saldi Isra selaku narasumber acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Kamis (23/1) di Cisarua.
Saldi mengatakan, persoalan yang sering terjadi pada Pemilu adalah soal pemutakhiran data pemilih, yang jadi potensi awal pelanggaran pemilu. Orang mengatakan, semakin presisi data pemilih, maka semakin mudah bagi penyelenggara Pemilu dan pelaku politik untuk menghitung kemungkinan suara yang mereka raih dalam penyelenggaraan Pemilu.
“Artinya, semakin tidak presisi, tidak akurat data, maka akan semakin sulit membuat perkiraan untuk menghadapi hasil Pemilu itu sendiri,” kata Saldi Isra, pakar hukum tata negara, dengan materi “Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD”.
Dijelaskan oleh Saldi, yang ditakutkan oleh sebagian besar peserta Pemilu, akan muncul jumlah suara di luar yang dihitung sebagai suara pemilih tetap.
“Jadi, akan ada ‘suara siluman’ misalnya. Kalau daftar pemilih tetap diperkirakan 180 juta pemilih, tiba-tiba selesai Pemilu jadi 220 juta pemilih. Itu bisa berbahaya, bisa mendelegasimasi Pemilu. Semua pihak yang kalah, berpotensi menggunakan ‘suara siluman’ itu sebagai alasan untuk menurunkan legitimasi Pemilu,” urai Saldi.
Hal lain yang kerap jadi persoalan dalam Pemilu, adalah soal penetapan partai politik. Hampir sebagian besar parpol yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, kemudian harus disaring dengan syarat UU Pemilu Legislatif.
“Parpol boleh ada, tetapi belum tentu semua parpol bisa menjadi peserta Pemilu,” tegas Saldi kepada hadirin.
Saldi menjelaskan, untuk menjadi peserta Pemilu, undang-undang menetapkan syarat yang sangat ketat. Di antaranya, parpol harus memiliki pengurus di semua provinsi, harus memiliki pengurus minimal di dua pertiga dari jumlah provinsi yang ada, disamping syarat prosentase dukungan di kabupaten.
Lebih lanjut Saldi menerangkan persoalan pada masa kampanye. Pada masa kampanye ini, yang paling rawan adalah adanya beberapa ketentuan dalam masa kampanye yang tidak diindahkan. Misalnya, yang paling rawan adalah soal ‘bantuan siluman’.
“Dalam undang-undang disebutkan besarnya bantuan maksimal perorangan, bantuan maksimal dalam bentuk badan atau badan usaha dan larangan untuk tidak boleh menerima sumbangan dari luar negeri,” urai Saldi yang juga menyinggung berbagai permasalahan dan potensi pelanggaran di masa tenang maupun saat pemungutan dan penghitungan hasil Pemilu. (Nano Tresna Arfana/mh)