Materi berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme” disampaikan Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR dalam acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (23/1) pagi di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua.
“Saya akan mengawali pertemuan ini dengan memaparkan realitas kehidupan kita terkait dengan cara pandang kita melihat UUD,” ujar Lukman Hakim yang juga menjadi Wakil Ketua Umum PPP.
Lukman menerangkan, dulu ketika the founding fathers, yakni Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Soepomo dan banyak lagi tokoh lainnya mencoba merumuskan konstitusi Indonesia, mereka memiliki paradigma bahwa baik buruknya bangsa tergantung dari orang. Itulah sebabnya dalam Penjelasan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa semangat para penyelenggara negara lah yang menentukan baik-buruknya bangsa Indonesia.
“Itulah kenapa konstruksi UUD sebelum diubah sangat bertumpu pada figur pemimpin. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, kedaulatan yang hakikatnya di tangan rakyat itu dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Bahkan MPR dikatakan sebagai penjelmaan dari seluruh kedaulatan rakyat,” ungkap Lukman.
Dengan demikian, kata Lukman, supremasi institusi dari MPR kala itu lalu ditransformasikan menjadi kedaulatan institusional MPR. Lalu MPR memberikan mandat sepenuhnya kepada Presiden. “Kala itu dikenal istilah Presiden sebagai mandataris MPR,” ujar Lukman kepada para hadirin.
Bahkan Pasal 4 UUD 1945 sebelum diubah, secara eksplisit menyatakan kekuasaan pemerintahan negara ada di tangan Presiden. Sedangkan Pasal 5 UUD 1945 sebelum diubah, bahwa kekuasaan membentuk undang-undang juga di tangan Presiden.
“Jadi kalau kita mengenal tiga cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif dan judikatif, dua dari tiga cabang kekuasaan ini yaitu eksekutif dan legislatif berada di tangan Presiden. Kelak, kekuasaan yudikatif berada di tangan Presiden, karena Presiden di masa itu memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan seluruh hakim agung,” imbuh Lukman.
Lantas, apakah realitas tersebut salah? “Tentu kita tidak dapat menyalahkan para pendahulu kita, orang-orang berjasa besar. Kita hanya bisa memahami bahwa mungkin begitulah kebutuhan pada saat itu, sehingga para pendiri bangsa memiliki cara pandang semacam itu,” kata Lukman lagi.
Namun setelah lebih dari 50 tahun, dengan terjadinya momentum reformasi politik 1998 di Indonesia, maka kemudian terjadilah pergeseran, perubahan cara pandang mayoritas anak bangsa Indonesia, tidak seperti para pendahulu bangsa. Bahwa kekuasaan itu, sekecil apa pun, memiliki potensi untuk disalahgunakan.
“Karenanya tidak boleh ada orang atau institusi yang pada dirinya terpusat hampir seluruh kekuasaan. Kekuasaan itu harus dipisahkan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain, agar tercipta mekanisme saling mengimbangi dan saling mengontrol,” urai Lukman.
Di sisi lain, sambung Lukman, ada tuntutan luar biasa derasnya untuk menerapkan supremasi hukum. Hal ini terkait dengan terjadinya pergeseran Teori Kedaulatan, yang bermula dari Teori Kedaulatan Raja, berlanjut dengan Teori Kedaulatan Raja, Teori Kedaulatan Negara hingga Teori Kedaulatan Rakyat yang menjadi dasar negara demokrasi.
“Tapi kemudian, demokrasi yang mensyaratkan mayoritas ini terjadi ekses-ekses, terjadi tirani mayoritas, diktator mayoritas dan sebagainya. Lalu sekarang yang berlangsung, demokrasi yang harus diimbangi dengan nomokrasi. Itulah kemudian lahirlah paham supremasi hukum bahwa hukumlah yang berdaulat,” tegas Lukman. (Nano Tresna Arfana/mh)