Dua orang ahli silang pendapat dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Cirebon Putaran Kedua pada Rabu (22/1) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Kedua ahli tersebut adalah Firdaus dan Maruarar Siahaan. Firdaus dihadirkan oleh Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Raden Sri Heviyana-Rakhmat (Pemohon), sedangkan ahli Maruarar Siahaan dihadirkan oleh Pasangan Calon Terpilih Sunjaya Purwadi-Tasiya Soemadi (Pihak Terkait).
Kedua ahli tersebut berbeda pendapat dalam menilai diloloskannya Sunjaya Purwadi sebagai calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cirebon (Termohon). Inti persoalannya adalah apakah Sunjaya Purwadi memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah meskipun ia seorang terpidana, dengan vonis hukuman percobaan, dalam kasus pemalsuan surat.
Menurut Firdaus, seharusnya Sunjaya Purwadi tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah. Sebab, Sunjaya telah terbukti melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih. Apalagi menurutnya, dalam putusan MK terkait persyaratan calon maupun ketentuan hukum lainnya, tidak membedakan apakah itu pidana berat ataukah tidak.
“Ancaman hukuman lima tahun tersebut secara jelas dan tegas tidak membedakan jenis tindak pidana apakah itu korupsi, pemalsuan surat, pembunuhan, atau kategori lainnya,” tegasnya.
Selain itu, sambung Firdaus, tidak dibedakan pula berdasarkan amar putusan pengadilannya. “Vonis hukuman pengadilan, apakah pidana penjara ataukah pidana percobaan adalah sama. Karena nomenklatur atau pemilihan kata pada putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 adalah terpidana, bukan narapidana. Sehingga berimplikasi pada terpidana, dimana terpidana adalah orang yang sudah divonis bersalah, sedangkan narapidana adalah warga binaan lembaga pemasyarakatan, atau dengan kata lain pernah dipidana penjara,” paparnya.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ada perlakuan berbeda antara putusan pengadilan dan pengadilan negeri. “Putusan pengadilan negeri ataukah putusan pengadilan militer adalah sama. Karena berada di bawah ruang lingkup kewenangan Mahkamah Aagung,” ungkapnya.
Oleh karenanya ia berkesimpulan, sudah selayaknya Sunjaya Purwadi dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga keputusan Termohon terkait penetapan pasangan calon dibatalkan. Ia beralasan, selain melanggar ketentuan hukum yang berlaku, dirinya juga menilai ada ketidakjujuran dari Sunjaya yang terkesan menutup-nutupi statusnya sebagai terpidana karena tidak pernah mengungkapkannya ke publik melalui media massa.
Sementara itu Maruarar Siahaan mengungkapkan hal sebaliknya. Menurut Maruarar, pada prinsipnya keputusan Termohon yang meloloskan Sunjaya Purwadi sebagai calon bupati masih tetap berlaku selama tidak pernah dibatalkan oleh institusi yang berwenang, atau dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Selama keputusan TUN itu belum dinyatakan batal, maka dia tetap sah,” jelasnya. “Sampai pilkada putaran kedua, keputusan itu tetap sah.”
Menurutnya, harus diperhatikan pula aspek kepastian hukum dari seluruh proses yang berjalan hingga saat ini. Karena sebelumnya telah diberikan waktu bagi masyarakat, termasuk Pemohon, untuk mengajukan sanggahan atau menempuh upaya hukum terhadap keputusan Termohon yang meloloskan Sunjaya. Malah menurut Maruarar, peluang digugatnya keputusan Termohon tersebut telah kedaluarsa.
Adapun terkait dengan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, kata Maruarar, tidak serta merta putusan ini berlaku sama terhadap kasus Sunjaya Purwadi. Menurutnya, ada aspek-aspek keadilan yang perlu dipertimbangkan dalam menilai perkara Sunjaya Purwadi ini. Sebab sebenarnya tidak ada pihak yang dirugikan dalam perkara surat palsu oleh Sunjaya tersebut. Toh Sunjaya dalam hal ini bukanlah pelaku pemalsuan surat tersebut, melainkan anak buahnya.
Maruarar berkesimpulan, tidak ada niat jahat dalam kasus Sunjaya ini, sehingga tidak selayaknya ia didiskualifikasi sebagai pasangan calon karena kasus tersebut. “Niat jahat tidak ada dalam hal itu,” ujarnya. “Sebagai mantan hakim pidana, saya berkesimpulan hal itu bukan kejahatan.”
Apalagi substansi surat yang dipalsukan tersebut sama, yakni substansinya adalah mengizinkan Sunjaya untuk mencalonkan diri dalam pemilukada. “Yang satu itu surat izin, dan yang satu lagi adalah surat izin jalan. Namun substansinya sama, bahwa kepada yang bersangkutan diberikan izin untuk mengikuti proses pilkada.”
Sebelumnya, Sunjaya Purwadi dijatuhi hukuman pidana tiga bulan dalam masa percobaan selama enam bulan oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta dalam kasus penggunaan surat palsu. Pemalsuan tersebut terjadi saat dia akan mengikuti pencalonan kepala daerah. Sebenarnya Sunjaya telah mendapat izin dari atasannya untuk mengikuti pilkada pada 2008 silam, namun dalam surat tersebut tertulis Surat Izin Jalan. Dengan alasan tidak mau repot bolak-balik mengurus surat izin tersebut, ketika itu tim suksesnya memutuskan menghapus (men-tipex) kata “Jalan” dan lengsung menyerahkannya kepada KPU. Surat inilah yang kemudian dinyatakan palsu oleh pengadilan. (Dodi/mh)