Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang tentang Pangan yang dimohonkan Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API) dkk, Selasa (21/1). Pada sidang kali ini giliran Pemerintah menyampaikan keterangannya yang diwakili oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi.
Dalam kesempatan itu, Mualimin menyampaikan UU Pangan bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Sementara ruang lingkup penyelenggaraan pangan dalam Undang-Undang Pangan meliputi perencanaan pangan, ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi, keamanan pangan, label dan iklan pangan, pengawasan sistem informasi pangan, penelitian dan pengembangan pangan, kelembagaan pangan, peran serta masyarakat, dan penyidikan yang diselenggarakan berdasarkan asas kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemertaan berkelanjutan, dan keadilan.
“Penyelenggaraan pangan itu sendiri dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan itu sendiri,” ujar Mualimin menjelaskan tujuan UU Pangan.
Lebih lanjut, Mualimin mengatakan UU Pangan memiliki sistem ketahanan pangan yang terdiri dari tiga subsistem, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan konsumsi pangan dan gizi. Dalam subsistem ketersediaan pangan diatur produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, ekspor dan impor pangan, penganekaragaman pangan, serta penanganan krisis pangan. Sedangkan dalam subsistem keterjangkauan pangan diatur mengenai distribusi pangan, pemasaran dan perdagangan pangan, stabilisasi pasokan dan harga bahan pokok, serta bantuan pangan. Sementara dalam subsistem konsumsi pangan dan gizi diatur hal-hal terkain konsumsi pangan, penganekaragaman konsumsi pangan, serta perbaikan gizi. “Dari ruang lingkup itu jelas sekali penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perseorangan untuk hidup sehat, aktif, dan produktif berdasarkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Oleh karenanya Undang-Undang tentang Pangan menurut Pemerintah telah sejalan dengan amanat konstitusi,” jelas Mualimin.
Sementara itu terkait dengan permohonan Para Pemohon, Pemerintah menyatakan permohonan Pemohon yang mengatakan Pasal 36 ayat (3) UU Pangan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah keliru. Pasalnya, Pemerintah menganggap Para Pemohon kurang teliti dan kurang cermat dalam memahami secara utuh atau secara keseluruhan dari Undang-Undang Pangan, terutama maksud dan tujuan UU Pangan.
“Menurut Pemerintah, Para Pemohon hanya menitikberatkan atau memahami secara sepotong-sepotong. Karena, lembaga Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Pangan tidak dapat dilepaskan dari Ketentuan Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 151 Undang-Undang Pangan yang mengatur tentang kelembagaan pangan. Kemudian pasal-pasal tersebut juga mengatur antara lain, pembentukan kelembagaan pangan dan pasal-pasal tersebut juga mengatur tugas dan kewenangan lembaga pangan, dan batas waktu pembentukan lembaga pangan. Yang lebih lanjut diamanatkan akan diatur di dalam peraturan presiden itu sendiri atau peraturan presiden sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Pangan. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas menurut Pemohon, menurut Pemerintah kekhawatiran Para Pemohon mengenai pembentukan lembaga pangan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan menurut Pemerintah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan,” papar Mualimin membantah dalil Para Pemohon.
Selanjutnya, Pemerintah seperti yang disampaikan Mualimin memastikan tidak membedakan pelaku usaha pangan berdasarkan skala usaha. Pasal 53 UU Pangan menurut Pemerintah bertujuan untuk mengatur perdagangan pangan untuk mengendalikan harga pangan yang berdampak pada inflasi, manajemen cadangan pangan, dan menciptakan iklim usaha yang sehat untuk setiap orang. “Peraturan ini menurut Pemerintah justru untuk menghindari pelaku usaha skala kecil dimanfaatkan atau dieksploitasi oleh pelaku usaha besar untuk melakukan penyimpangan yang melebihi batas yang diperbolehkan atau di dalam praktik disebut sebagai upaya-upaya untuk melakukan penimbunan,” terang Mualimin lagi.
Pemerintah pun meminta agar permohonan Para Pemohon tidak dikabulkan atau ditolak. Pemerintah khawatir bila permohonan tersebut diterima akan mengakibatan kekacauan seperti tidak terwujudnya ketersediaan keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup bermutu, beragam, bergizi seimbang dan aman di tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan. dikhawatirkan tidak dapat diwujudkan dengan baik. (Yusti Nurul Agustin/mh)