Kuasa hukum pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan), Adiwirajaya, menyatakan telah memperbaiki permohonannya. Hal ini diungkapkan pada sidang perbaikan permohonan Perkara Nomor 104/PUU-XI/2013 yang digelar Senin (20/1) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon prinsipal dalam perkara ini adalah Perkasa Kentjana Putra.
Dalam perkara tersebut pemohon menguji konstitusionalitas frasa “Bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 26 UU Perpajakan. Ketentuan ini seutuhnya berbunyi, “Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana dibidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.”
“Norma (tersebut) diskriminatif terhadap Pemohon,” tegas Adiwirajaya. Pemohon berpandangan, kewenangan untuk menemukan bukti permulaan yang hanya dimiliki oleh kepolisian dan direktorat pajak, telah mengandung diskriminasi sehingga merugikan pihaknya.
“Telah menimbulkan kerugian (bagi) pemohon dan kerugian tersebut berhubungan dengan norma yang diujikan di MK serta bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau setidak-tidaknya makna/intisari diubah sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pemohon,” ujarnya.
Adiwirajaya menjelaskan sebenarnya dalam hal ini pemohon tidak ingin menghapus atau membatalkan frasa tersebut, namun lebih meminta MK untuk memberikan tafsir konstitusional atas rumusan bukti permulaan yang dipersoalkan oleh pihaknya. “Pemohon di sini bukan untuk menghilangkan frasa tersebut,” ungkapnya.
Setidak-tidaknya, menurut dia, inti dari kalimat tersebut dapat diubah atau diperjelas oleh MK agar tidak merugikan warga negara, khususnya pemohon. Karena kadang-kadang penegak hukum, terutama penyidik, menggunakan ketentuan tersebut untuk tidak memberikan pelayanan yang optimal dan memuaskan bagi pelapor. (Dodi/mh)