Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang (PUU) Advokat yang dimohonkan oleh para advokat kenamaan, yaitu Otto Cornelis Kaligis, Purwaning M. Yanuar, Bharata Ramedhan, Slamet Yuono, Heru Mahyudin, dan Medyora Cahya Nugrahenti, Rabu (15/1). Pada sidang kali ini, tanpa diwakili kuasa hukum, Para Pemohon menyampaikan poin-poin perbaikan dalam permohonan mereka yang teregistrasi dengan nomor perkara 103/PUU-XI/2013.
Dalam sidang kali ini, Purwaning M. Yanuar mengatakan setelah menerima saran dari panel hakim pada sidang pendahuluan, Para Pemohon memutuskan untuk mengubah jumlah dan susunan Pemohon. Bila sebelumnya ada enam orang yang bertindak sebagai Pemohon, pada perbaikan permohonan ditetapkan Pemohon Prinsipal hanya satu orang yakni OC Kaligis. Sementara lima orang pemohon lainnya diubah statusnya menjadi kuasa hukum.
“Salah satu perubahan fundamental yang telah kita buat adalah perubahan pihak yang tadinya 6 pihak sekarang hanya 1 pihak Bapak O.C. Kaligis mewakili Kantor O.C. Kaligis and Associate. Adapun alasan kita melakukan perubahan itu sebagai keterangan tambahan untuk Majelis Hakim adalah untuk memperkuat dan menutup celah segala argumentasi masalah legal standing. Karena kami merasa yang paling berkepentingan, yang paling menderita kerugian dari interpretasi tidak konstitusionalnya pasal dari Undang-Undang Advokat ini adalah Bapak O.C. Kaligis,” ujar Bharata Ramedhan.
Selain perubahan pada jumlah Pemohon dan susunan Pemohon, Bharata juga mengatakan pihaknya telah mengubah objek permohonan sekaligus batu uji yang digunakan. Bila sebelumnya Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, pada perbaikan permohonan hanya Pasal 2 ayat (1) UU Advokat saya yang diajukan untuk diuji.
Perubahan pada batu uji yang digunakan terletak pada adanya penambahan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi , “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Sebelumnya, Pemohon hanya menjadikan Pasal 28C ayat (1) untuk dijadikan batu uji.
“Batu uji kita bukan hanya Pasal 28C ayat (1), tetapi juga Pasal 28D ayat (2). Jadi kami bukan saja memasalahkan soal pendidikan, tetapi juga menekankan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan tentang pentingnya equality before the law, mengenai kepastian menerima hukum serta perlakuan yang adil yang diatur di dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Bharata.
Sebelumnya, Pemohon memasalahkan ketentuan syarat menjadi advokat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat
Pemohon beralasan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28C UUD 1945 karena menyebabkan hanya organisasi advokat saja yang bisa menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Dengan kata lain, sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum yang dapat diangkat sebagai advokat harus terlebih dahulu mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Hal itu menurut Pemohon dapat membuka peluang yang mengakibatkan hilangnya hak konstitusional advokat sebagaimana terdapat dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Yusti Nurul Agustin/mh)