Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan para mahasiswa dan dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Garut yang didampingi Ketua STH Garut, Itjeu Fatimah, pada Senin (13/1) pagi. Pada kesempatan itu peneliti MK Abdul Ghoffar memberikan kuliah singkat seputar konstitusi, teori kekuasaan tertinggi dalam negara (kedaulatan), dan kepemimpinan.
“Seorang pemimpin perlu legitimasi, dia membuat aturan-aturan yang dipersiapkan di kemudian hari,” kata Abdul Ghoffar yang didampingi moderator Johan Johari selaku dosen STH Garut. Terkait bagaimana pemimpin menggunakan legitimasinya, Ghoffar menyampaikan mengenai Teori Kedaulatan Tuhan dan Teori Kedaulatan Raja. Dijelaskan Ghoffar, Teori Kedaulatan Tuhan dan Teori Kedaulatan Raja pada intinya adalah mengokohkan seseorang.
Dalam Teori Kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan. Artinya, raja atau penguasa negara mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sehingga kehendak raja atau penguasa juga merupakan kehendak Tuhan. Sedangkan dalam Teori Kedaulatan Raja, seorang raja meyakinkan pada rakyatnya bahwa kekuasaan tertinggi ada pada raja.
“Kekuasaan yang sangat absolut itu kemudian dikurangi sedikit demi sedikit, lalu muncul teori baru. Misalnya, Teori Kedaulatan Rakyat yang menjelaskan bahwa setiap manusia lahir mempunyai kedaulatan sendiri-sendiri, tidak diberikan raja atau oleh siapa pun,” papar Ghoffar.
Selanjutnya, Teori Kedaulatan Rakyat memunculkan teori baru, seperti Teori Kontrak Sosial. Teori ini merupakan teori paling relevan untuk menjelaskan suatu negara yang diidealkan dapat terbentuk. Teori Kontrak Sosial adalah sebuah perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, antara manusia-manusia yang tergabung dalam komunitas tertentu.
“Indonesia tidak pernah menggunakan Teori Kontrak Sosial, karena yang membuat UUD bukan seluruh rakyat Indonesia tetapi hanya cerdik cendikiawan yang melakukannya. Seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Karno dan lainnya,” jelas Ghoffar.
Pemimpin yang Demokratis
Lebih lanjut Ghoffar menyatakan keprihatinannya bahwa sebelum tahun 1998, Indonesia belum menemukan seorang pemimpin yang demokratis, adil dan berwibawa. Ia mencontohkan kepemimpinan Bung Karno. Pada masa-masa awal kepemimpinannya, Bung Karno dikenal sangat adil. “Tetapi menjelang akhir masa jabatannya, Bung Karno mengeluarkan kebijakan demokrasi dalam satu komando. Artinya, seluruh kekuasaan dalam satu komando. Beliau mendidik dirinya menjadi seorang pemimpin yang otoriter,” imbuh Ghoffar.
Demikian pula Pak Harto, ketika baru menjabat sebagai Presiden RI sekitar tahun 1965-1968, ia dikenal sebagai sosok yang demokratis. “Kala itu beliau dielu-elukan oleh para mahasiswa karena sikapnya yang demokratis. Mahasiswa mendorong Pak Harto untuk memimpin Indonesia,” ucap Ghoffar.
“Tapi ironisnya, para mahasiswa pula yang akhirnya melengserkan Pak Harto dari jabatannya saat reformasi 1998,” tandasnya. (Nano Tresna Arfana/mh)