Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi maupun ahli dari Pemerintah.
Pemerintah menghadirkan seorang saksi, yakni Ketua Pansus UU Ormas Abdul Malik Haramain, yang menjelaskan bahwa UU Ormas tidak bermaksud untuk mengekang dan membatasi kebebasan dalam berserikat dan berkumpul. “Undang-undang ini dimaksudkan bukan untuk mengebiri maupun mengekang kebebasan masyarakat,” jelasnya.
Ketika pembahasan dahulu, lanjut Malik, diputuskan bahwa ormas tidak boleh bertentangan dengan asas Pancasila. Namun pada dasarnya, setiap ormas dapat menentukan asas masing-masing. “Tidak ada pelarangan ormas untuk mencantumkan asas dalam AD/ART baik akan mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 atau tidak,” jelasnya.
Malik juga mengungkapkan mengenai pendirian ormas seperti yang tercantum dalam Pasal 9 UU Ormas memiliki sifat yang longgar dan tidak mengekang kebebasan masyarakat untuk berkumpul. “Dan sama sekali tidak berintervensi dan mengebiri hak orang untuk membuat ormas,” ujarnya.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah Wawan Purwanto menjelaskan mengenai perlunya pengaturan ormas asing yang beroperasi di Indonesia dalam UU Ormas. Wawan menuturkan jika ormas yang dibiayai maupun dioperasikan oleh pihak asing tidak diatur akan menyediakan celah hukum bagi warga negara asing untuk melanggar UU Keimigrasian dan tidak menjaga kesatuan NKRI. “Apalagi di UU Ormas tidak mengandung aturan yang menyebut tidak bertentangan dengan UU Keimigrasian,” tutur Wawan.
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang tercatat sebagai pemohon pengujian UU Ormas yang baru disahkan bulan lalu tersebut. Dalam permohonannya, PP Muhammadiyah menuntut agar MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU Ormas yang dianggap telah menghalangi hak konstitusional Pemohon. Pasal yang digugat, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat 2, Pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) huruf a UU No 17 tentang Ormas. Menurut Pemohon, UU tersebut telah membatasi hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana yang dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945. Pengekangan tersebut dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Selain itu, banyak keanehan yang terdapat dalam UU Ormas karena adanya pertentangan dan kontradiksi yang terjadi. (Lulu Anjarsari/mh)