“Dalam eksepsi, objek Pemohon seharusnya tentang hasil rekapitulasi bukan terkait dengan penetapan bupati terpilih, dan dalam posita pemohon yang menyebutkan banyak terjadi pencoblosan yang di potong, tanpa menjelaskan kaitan dengan 20.000 surat suara, dan dalil Pemohon tidak berkaitan langsung dengan penghitungan suara. Dalil Pemohon tidak jelas dimana pembuktian dan permohonannya tidak jelas atau obscure libel.”
Demikian disampaikan oleh kuasa hukum Termohon Kabupaten Ende Kores Tambunan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, di Ruang Panel Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (09/01) pagi, dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, dalam pokok permohonannya, KPU Ende membantah seluruh dalil-dalil permohonan Pemohon, di mana tidak benar mengenai dalil Pemohon yang menyatakan adanya pemilih yang tidak terdaftar di DPT tetapi bisa memilih. “Dari tingkat penyelenggara dari tingkat bawah, telah melakukan sosialisasi dan membagikan surat undangan kepada warga yang berhak mendapatkannya,” ungkap Kores.
Adanya tuduhan bahwa ada surat suara yang dipotong dengan karter, bahwa sebenarnya hal itu tidak ada, kecuali hanya ada satu lembar surat suara yang dipotong, tetapi berada di TPS lain, bukan seperti yang didalilkan oleh Pemohon. “Kami juga menolak dalil Pemohon yang mengatakan, bahwa pihak penyelenggara tidak menempelkan DPT pada saat pencoblosan. Itu tidak benar, karena kita sudah menempelkan DPT di pintu masuk bilik pemilihan di setiap TPS,” tegasnya
Pemohon Curang
Sementara dalam keterangan Pihak Terkait juga membantah dalil-dalil Pemohon yang menuduh bahwa Pihak Terkait melakukan politik uang dengan membagi-bagikan uang kepada warga. “Dalil Pemohon tidak menjelaskan bahwa tim pemenangan Pihak Terkait membagi-bagikan uang dengan tujuan apa, dan kepada siapa, itu tidak dijelaskan sama dengan Pemohon,” terang kuasanya, Valensius
Soal konflik kepentingan antara Ketua KPU dan ketua tim pemenangan pasangan paket Marsel-Jafar, Pemohon tidak menjelaskan kepentingan apa yang melanggar hukum dalam kaitannya dengan hubungan persaudaraan antara mereka berdua. Justru sebaliknya Pemohonlah yang melakukan segala macam cara kecurangan untuk dapat memenangkan dirinya. “Hal ini akan kami buktikan dalam persidangan berikutnya,” tambahnya.
Sanksi Membuat Jera
Sementara dalam keterangan ahli yang diajukan Pemohon yaitu Margarito menjelaskan bahwa banyak pelanggaran yang terjadi dalam Pemilukada, di mana seharusnya pelanggaran tersebut harus diberi sanksi hingga diskualifikasi kepesertaan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. “Bagi peserta kampanye atau tim kampanye yang melanggar kaidah atau peraturan hukum dalam Pemilukada, mereka harus diberikan sanksi yang benar-benar memberikan jera, yakni mendiskualifikasi sebagai peserta calon Pemilukada suata daerah.”
Sementara dalam keterangan saksi Pemohon yakni Yurnalis Ningg’o, Antonius Wangge, Falentinus Segu, dan Maria Margareta, mengatakan bahwa pasangan Paket Marsel-Jafar telah melakukan politik uang, di mana tim pemenangannya memberikan uang kepada warga dan saksi. “Tim pemenangan Paket Marsel-Jafar memberikan uang kepada warga, termasuk saya juga sebesar Rp. 100 ribu, dan menyuruh untuk mencari tujuh orang pemilih yang mau memilih pasangan calon nomor urut 4 Maesel-Jafar,” jelas Maria kepada Majelis hakim Konstitusi.
Tidak hanya itu, pasangan paket Marsel-Jafar, melalui tim pemenangannya juga melakukan black campaign dengan menyebarkan isu SARA kepada warga melalui para pendeta agar tidak memilih pasangan Don Bosco-Dominikus. Hal tersebut ditegaskan oleh saksi Frans Kato, Nikodemus Siprianus, dan Gerardus Makmur.
Sidang ini akan digelar kembali pada hari Rabu (15/01) sore, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari KPU, saksi Pihak Terkait, dan saksi tambahan dari Pemohon. (Panji Erawan/ mh)